Catatan Perjalanan: Hongkong, Macau, dan China bagian Selatan

October 31, 2013

(oleh: Willy Yanto Wijaya)

Akhir Agustus yang lalu, penulis mengambil cuti summer break dan memutuskan untuk menyelusuri Hongkong, Macau, dan China bagian Selatan. Rute kali ini adalah sbb: Hongkong – Macau – Zhuhai – Guangzhou – Guilin – Yangshuo – Shenzhen – Hongkong.

Karena ini sudah ketiga kalinya penulis travelling ke China, jadi sudah tidak begitu kaget lagi dengan kebiasaan dan sikap (attitude) orang-orang di China. Tapi tetap saja, jangan kaget kalau tulisan ini masih terhiasi oleh kritik-kritik pedas terhadap hal-hal yang penulis amati selama perjalanan ini. Tulisan kali ini mungkin juga akan cukup terisi tips-tips berguna bagi yang akan berencana travelling dengan itenary seperti di atas.

Tiba di Hongkong sudah malam hari. Airport terletak di Lantau Island, jadi dari sana naik bus sejam-an bisa tiba di Tsim Sha Tsui, di kawasan Kowloon, biaya 33 HKD. Sepanjang perjalanan, bus akan melewati pelabuhan Hongkong yang cukup besar, dengan peti-peti kontainer. Hongkong memang strategis lokasinya, dengan pulau-pulau yang berceceran di sekitaran, tidak heran di masa lampau, Inggris menjadikannya sebagai koloni titik injakan di Asia Timur.

Hongkong

Pada pemberhentian bus ke sekian belas, akhirnya penulis pun tiba di Nathan Road, bisa dibilang Kampung Keling nya Hongkong (dihuni oleh mayoritas orang-orang keturunan India, Pakistan, dan Asia Selatan lainnya). Biaya akomodasi di Hongkong bisa terbilang sangat mahal, rata-rata hotel yang cukup bagus (bintang 3) saja bisa sejutaan rupiah per malam. Kawasan Nathan Road ini biasanya lokasi favorit budget travellers, pun tidaklah bisa dibilang murah, paling tidak Anda masih harus merogoh kocek sekitar 200-300 ribu rupiah per kepala untuk menginap. Ada satu hal yang penulis agak kurang sreg dengan cara bisnis orang-orang Asia Selatan di sini (tidak bermaksud rasis, penulis hanya menyampaikan kritik sejujurnya). Yaitu ketika Anda booking kamar misalkan di Chungking Mansion dengan nama XYZ Hotel/ Guest House, ketika Anda tiba disana mereka akan memberikan Anda kamar yang berbeda dari kamar yang sudah Anda booking. Benar-benar cara bisnis yang tidak etis! Untunglah kamar yang penulis dapatkan speks nya masih setara sama speks kamar yang di-book, tapi membaca review orang-orang, tidak sedikit yang kecewa mendapatkan kamar yang tidak sesuai harapan. Kawasan di sekitar pelataran luar juga cukup jorok, walaupun untungnya di dalam kamar cukup bersih. Penulis sarankan Anda lebih baik mencari deal-deal hotel bintang 3 (kadang bisa dapat sekitar 700-800 ribu rupiah buat 2 orang), kecuali Anda memang ingin irit dengan budget.

Untuk transportasi keliling Hongkong, Anda bisa menggunakan MTR atau bus. Sebenarnya dari kawasan Nathan Road ini Anda bisa tinggal jalan kaki sedikit ke arah Selatan menuju Victoria Harbor, untuk melihat gemerlap Hongkong Island di seberang selat. Avenue of Stars juga terletak di sekitaran sini.

Dari Hongkong menuju Macau, penulis naik ferry sekitar 172 HKD (harga tiket tergantung apakah weekend atau hari biasa, atau tiket malam hari biasa sedikit lebih mahal); dermaga feri bisa dicapai dari Sheung Wan MTR station di Hongkong Island.

Imigrasi masuk ke Macau tidaklah ribet. Ketika tiba di dermaga feri Macau, penulis agak sedikit bingung bagaimana menuju ke kota Macau. Tentu saja naik taksi adalah paling gampang, namun penulis dengar ada banyak shuttle bus gratis casino-casino yang bisa kita tumpangi untuk menuju ke kota. Setelah nanya orang dimana lokasi shuttle bus casino (ternyata harus jalan sedikit dari terminal dermaga), penulis pun sembarang naik free shuttle bus menuju casino Grand Lisboa.. haha.. Persaingan casino di Macau memang sangat kompetitif, sampai-sampai mereka main “jemput bola” calon potensial pelanggan.

Senado Square, Macau

Hotel-hotel di Macau juga luar biasa mahal, dan disini Anda hampir tidak mungkin (susah sekali) menemukan budget hotels. Hotel paling murah pun biasanya sekitar sejutaan rupiah, terlebih saat peak seasons atau menjelang weekends. Penulis pun menginap satu malam di Macau. Sebenarnya ada cara lebih irit yaitu nginap di Zhuhai (kota perbatasan di RRC tepat di utara batas tapal Macau) (nanti akan dijelaskan cara hemat ke Zhuhai).

Walaupun tidak ikutan berjudi, tentunya penulis tetap pengen tau gimana isi casino di Macau. Casino Grand Lisboa yang penulis masuki memiliki ornamen-ornamen wah nan berkilauan, di dalam berjejer meja-meja judi. Kadangkala disediakan juga snack/kue dan minuman gratis buat para pengunjung. Bukan itu saja, pada jam tertentu, ada juga pertunjukan tarian cewe-cewe seksi di atas panggung. Wah ga rugi juga main ke dalam casino, hehe..

Selain casino, di Macau juga terdapat peninggalan Portugis, seperti kastil atau gereja. Dari Macau, penulis berencana melanjutkan perjalanan ke Guangzhou, RRC. Nah ternyata kita bisa naik shuttle bus gratis dari casino menuju ke perbatasan RRC yaitu ke kota Zhuhai. Caranya adalah pergi kunjungi meja judi di dalam casino, terus minta tiket free shuttle bus (sebutkan tujuan Anda, misalkan mau ke perbatasan Zhuhai); setelah mendapatkan kupon gratis, Anda tinggal tanya saja dimana tempat naik shuttle bus.

Kami pun menuju ke Zhuhai, sudah masuk ke wilayah Republik Rakyat China (RRC). Sebenarnya dari perbatasan Macau-Zhuhai bisa jalan sedikit ke stasiun kereta api Zhuhai dan dari sana bisa naik kereta api ke Guangzhou. Akan tetapi kami tidak tahu akhirnya naik bus CTS dari Zhuhai ke Guangzhou yang tiketnya cukup mahal sekitar 63 RMB per orang (padahal kalau kereta cuma 37 RMB). Pantesan kami heran, begitu banyak (ribuan) orang yang menyeberangi perbatasan, koq yang naik bus cuma sedikit.. hanya puluhan orang.. ternyata orang-orang pada naik kereta toh.

Tiba di Guangzhou juga sudah menjelang malam. Biaya hotel di RRC sungguh berbeda bagai langit dan bumi apabila dibandingkan dengan biaya hotel di Macau/Hongkong. Jauh lebih murah di RRC, maka menurut rumor banyak orang yang menginap di perbatasan Zhuhai ketika travelling ke Macau. Guangzhou termasuk kota berpenduduk terbesar ketiga di RRC, sentra aktivitas China wilayah Selatan. Di Guangzhou selain keliling kota, penulis cuma sempat mengunjungi Sun Yat Sen Museum (tiket masuk 10 RMB).

Kami berencana malam hari ingin naik kereta api malam (sleeper beds) dari Guangzhou menuju Guilin. Tapi apa lacur, tiket malam ini, bahkan esok hari sudah habis!! Ludes terjual!! Tersisa tiket berdiri, what the hell, masa kami berdiri 12 jam tanpa tidur di dalam kereta??! Yang bener saja! Kami sudah hampir membatalkan niat kami ke Guilin, tapi akhirnya penulis kepikiran, bagaimana kalau coba cari bus malam ke Guilin, mungkin saja masih ada. Ternyata terminal bus antar-kota terletak tidak begitu jauh dari Guangzhou Railway Station. Tiket bus malam seharga 180 RMB (tidak begitu mahal.. setara harga soft seat kereta api). Jadi penulis sarankan apabila Anda berencana dari Guangzhou atau Shenzhen menuju Guilin naik kereta, Anda sebaiknya booking tiket dari minimal beberapa hari sebelumnya.

Tiba di Guilin sudah pagi hari, kami pun check-in di hotel (enaknya hotel disini sudah bisa check-in padahal masih pagi jam 8), juga dengan sekitar Rp.300 ribu-an sudah bisa dapat kamar yang bagus untuk dua orang. Suasana Guilin yang teduh memang beda dengan Guangzhou yang padat penuh hiruk pikuk. Sudah tiba di Guilin tentunya harus menyusuri Sungai Li yang termasyhur itu. Kami pun membeli paket tur dari tur lokal, per orang sekitar Rp. 600 ribuan, sudah termasuk menyusuri Sungai Li sampai Yangshuo, kemudian bus buat balik ke Guilin.

Kapal dari Guilin ke Yangshuo berangkat dari Mopanshan Pier. Penulis cermati ternyata harga resmi tiket Li River Cruise dari dermaga ini sampai Yangshuo sekitar 210 RMB. Ya memang tur lebih mahal, tapi masuk akal lah, karena mereka menjemput dari hotel sampai dermaga, juga bus buat ke beberapa objek wisata di Yangshuo, kemudian bus balik dari Yangshuo ke Guilin.

Karena Li River Cruise masih keesokan harinya, kami pun pergi melihat gua-gua di Guilin dan pertunjukan seni suku-suku minoritas di Provinsi Guangxi (Guilin adalah salah satu kota di provinsi Guangxi). Memang wajar, karena gunung-gunung di Guilin dari batu kapur, pasti banyak terbentuk gua-gua dengan stalaktit dan stalakmit. Gua-gua disini dihiasi dengan pencahayaan berwarna-warni, membuatnya terlihat cukup indah walaupun artifisial. Hanya saja tipikal objek wisata di China, apapun berorientasi uang. Di dalam gua, ada gayung ambil air buat siram batu (bayar duit), foto depan kolam berstalakmit (bayar uang), bahkan sampai ke unsur-unsur mistis sembayang ini itu yang ujung-ujungnya (bayar uang) juga, di dekat pintu keluar berjejer toko-toko suvenir yang kalau mau beli tentu saja (bayar uang).

Guilin Cave

Bukan cuma di gua, di desa pertunjukan seni suku minoritas juga sama saja. Padahal Anda sudah masuk bayar sekitar 100 RMB, tetap saja berupaya diperah di dalam. Ayah dan paman-paman penulis, serta beberapa pengunjung lainnya tiba-tiba dikalungi pita pengantin, terus dibawa ke upacara pengantin ala suku minoritas tertentu, setelah itu dibawa oleh “mak comblang” masuk ke kamar. Penulis yang berusaha menghindar dan tidak berhasil dikalungi pun beranjak pergi, di samping penulis ada seorang ibu ngomel ke anaknya, “Bapak kamu itu ya.. bodoh sekali mau aja ikut upacara pengantin begituan.. itu pasti habis duit berapa ratus RMB!!” Setelah paman-paman dan ayah penulis keluar, ternyata memang satu orang habis sekitar 50 RMB sebagai “angpao” buat pengantin-pengantin wanita dan si “mak comblang”. Setelah itu salah satu paman penulis kembali diperas ketika foto bareng sama beberapa cewe berpakaian suku minoritas. Gilanya mereka hitungan satu jepret sekian puluh RMB, dan sekian kali jepret sudah habis seratusan RMB, padahal orangnya itu-itu saja, juga pose ga jauh berbeda antar jepretan satu ke yang lainnya. Memang cewe-cewe buas dan agresif mengincar mangsa..  =D ha..ha. Tapi pertunjukan seni nya sendiri cukuplah bagus.. ada tarian suku-suku minoritas seperti Zhuang, Miao, dsb. Juga dikisahkan tentang cerita rakyat Liu Sanjie, seorang gadis desa yang pemberani yang melawan tirani tuan tanah (landlord) yang ingin memaksa menikahinya.

Liu Sanjie, kisah rakyat yang tersohor dari Provinsi Guangxi

Liu Sanjie, kisah rakyat yang tersohor dari Provinsi Guangxi

Cruising Li River

Esok harinya, kami pun menyelusuri Sungai Li menuju Yangshuo. Di sepanjang tepi sungai, terlihat gunung-gunung kapur yang menjulang, tipikal keindahan khas Guilin. Akan tetapi penulis amati, banyak sekali wisatawan China yang tidak tahu aturan.. membuang puntung rokok sembarangan ke sungai.. what the hell! Mungkin memang Guilin dulunya adalah “paradise on earth”, tapi dengan komersialisasi dan laju pembangunan seperti sekarang ini, aura surgawi Guilin sudah lenyap. Apalagi kalau Anda ke sana pas musim panas.. udara yang gerah dan terik akan membuat Anda tidak begitu bisa enjoy menikmati perjalanan (penulis sarankan apabila Anda mau ke Guilin sebaiknya jangan pas musim panas).

Tiba di Yangshuo, dari dermaga kami pun mesti naik “electric van” menuju Tourism Parking Lots, habis 15 RMB. Dari sana bus travel pun membawa kami ke beberapa tempat seperti gua di Yangshuo, kuil, dan tidak ketinggalan adalah “jualan koyo” (ini adalah tipikal tur lokal di China – sebelumnya penulis di Suzhou pun begitu – kita diajak mendengarkan orang promosi jualan entah itu produk kesehatan lah, atau teh, atau obat-obatan, kain sutra, dsb). Setelah kembali ke Guilin kami pun bergegas ke stasiun kereta, harap-harap cemas apakah bisa mendapatkan tiket kereta terutama yang bisa buat tidur (sleeper bed), akhirnya kami pun mendapatkan 2 soft sleeper dan 2 hard sleeper menuju ke Shenzhen. (Ini cukup aneh kenapa tiket yang dari Guilin balik ke Guangzhou/Shenzhen bisa ada walau beli pas hari-H, sepertinya para turis dari Guilin banyak yang melanjutkan perjalanan ke barat atau utara seperti ke Kunming atau Nanning – ini menurut analisis/dugaan penulis).

Bisa tidur di atas kasur kereta walau hard-sleeper jauh lebih nyaman ketimbang tidur di bus (yang hampir tidak bisa tidur terlelap), pagi harinya kami pun tiba di Shenzhen. Kota Shenzhen cukup rapi dan tertata, terkesan agak mirip Singapura. Ternyata usut demi usut, kota Shenzhen ini dulunya dibangun oleh developer dari Singapore, pantesan saja model halte bus, trotoar, dan desain jalan rayanya terasa mirip.. Kota ini adalah cetusan ide revolusioner dari Deng Xiaoping yang berhasil menerapkan market economy dan membawa perubahan luar biasa ekonomi RRC hingga menjadi seperti sekarang ini. Kami pun sembarangan naik bus kota keliling Shenzhen, sekali naik cuma sekitar 2 RMB. Sebenarnya ada beberapa objek wisata seperti Window of The World (miniatur monumen dari seluruh dunia), Chinese Folk Culture Village (mirip TMII gitu), dll; tapi karena waktu yang sangat mepet, kami pun tidak sempat mengunjungi dan harus segera kembali ke Hongkong.

Dari Shenzhen ke Hongkong bisa naik MTR/Metro dari stasiun Luohu/Lo Wu, sekitar 30an HKD sampai ke wilayah Kowloon. Dari stasiun Lo Wu ketika tiba di stasiun Sheung Shui, penulis lihat banyak sekali penumpang yang turun dari MTR.. sepertinya dari Sheung Shui ada juga bus yang menuju ke Kowloon dan mungkin lebih murah.

Di Hongkong sendiri, masih ada beberapa tujuan wisata yang padahal sudah masuk itenary tapi akhirnya belum sempat terkunjungi, seperti Po Lin Monastery di Ngong Ping, ataupun naik ke puncak tertinggi di Hongkong Island. Yach, mungkin lain kali apabila ada kesempatan mengunjungi Hongkong lagi..

 

Beberapa tips berguna travelling di China:

1. Untuk mengecek rute kereta api seluruh China dan juga harga resmi:  http://www.cnvol.com

2. Booking tiket pesawat domestik di China:  english.ctrip.com

 

Untuk informasi berguna travelling secara umum:

1. wikitravel.org

2. Situs booking hotel seperti:  agoda.com, hostelworld.com, dsb

3. Situs komparasi harga tiket pesawat seperti: kayak.com, expedia.com, dkk