Pertama Kalinya Menginjakkan Kaki di Pulau Shikoku

May 31, 2012

(Oleh: Willy Yanto Wijaya)

Pertengahan bulan Mei yang lalu, penulis berkesempatan menginjakkan kaki ke Pulau Shikoku, pulau terkecil dari empat pulau utama di Jepang. Shikoku, secara harfiah artinya “Empat Negara”, saat ini terbagi menjadi empat provinsi: Ehime, Kagawa, Kochi, dan Tokushima. Sebenarnya kunjungan ke Pulau Shikoku ini adalah untuk mengikuti tes wawancara Sumitomo Chemicals, tentunya semua biaya transport dan juga nginap 1 malam di hotel di daerah Niihama (Provinsi Ehime) semua ditanggung oleh perusahaan tersebut.  =D

Sebelum berangkat, penulis memastikan dulu apakah perusahaan tersebut mewajibkan harus naik moda transportasi tertentu, dan apakah harus melampirkan kuitansi pembelian tiket (karena beberapa perusahaan yang lain ada yang mewajibkan pelampiran struk pembelian tiket).. yang ternyata tidak perlu! Jadi terserah mau kesana naik apa, perusahaan akan me-reimburse sebesar tiket Shinkansen standard pp + tiket kereta Shiokaze. Akhirnya penulis berangkat kesana naik bus malam (ada beberapa pertimbangan selain lebih murah, juga bisa berangkat H-1 sehingga tiba disana pagi hari dan lebih banyak waktu buat jalan-jalan, walaupun lebih capek tentunya karena mesti semalaman tidur di bus – tapi karena penulis sudah mendapatkan job offer dari beberapa perusahaan, jadi ga gitu masalah juga biarpun gagal tes wawancara).

Hanya dengan 3900 yen, penulis pun naik bus malam dari Yokohama station hingga ke Provinsi Okayama (yang terletak masih di Pulau Honshu, pulau terluas di Jepang). Nah, dari Okayama mesti naik Shiokaze, semacam kereta cepat kayak Shinkansen untuk menyeberang ke Pulau Shikoku. Karena penulis tiba di Okayama masih cukup pagi, sedangkan wawancara pada pukul 17:00, akhirnya penulis menyempatkan diri melihat-lihat Okayama Castle dan Korakuen Garden (walaupun ga sempat masuk ke dalam karena keterbatasan waktu), dan juga mencoba naik tram kota. Setelah quick lunch sembari men-charge handphone di McD dekat Okayama Station, penulis pun bergegas berangkat ke Pulau Shikoku tepatnya ke Niihama. Di luar dugaan, ternyata untuk naik Shiokaze, dibutuhkan base-ticket Shinkansen, akhirnya terpaksa beli, dan habis hampir 4000 yen (dipotong student discount).

Dari Pulau Honshu ke Pulau Shikoku melewati area Seto Inland Sea. Cuaca hari itu agak mendung dan berkabut. Ketika kereta Shiokaze melewati jembatan yang membentang menghubungkan kedua pulau, tampak pulau-pulau kecil yang tertutup kabut. Di kejauhan samar-samar terkadang terlihat pula kapal maupun feri yang melintas. Kabut mistis yang mempesona, pikirku dalam hati, cocok untuk menemani suasana hatiku yang sedang melonkolis saat itu.

Tiba di pesisir utara Pulau Shikoku, tampak pegunungan menjulang di sisi kiri dan laut di sisi kanan. Kereta Shiokaze terus berlari menyelusuri pesisir utara Shikoku menuju ke Provinsi Ehime di sebelah barat. Di sepanjang jalan tampak ladang-ladang dan kehidupan desa, berbagai jenis ladang. Juga di beberapa lokasi dekat laut, terdapat lokasi industri, berbagai jenis industri.

Penulis heran kenapa industri-industri ini mendirikan pabrik/ basis produksi di lokasi yang jauh dan cukup “terpencil” seperti Pulau Shikoku ini (harus menyeberangi Seto Inland Sea), kenapa tidak di Pulau Honshu saja misalkan di pesisir selatan Okayama dan sekitarnya. Ketika mengobrol dengan seorang penumpang yang duduk di samping penulis yang bekerja di sebuah perusahaan kecil yang masih terafiliasi dengan Sumitomo Heavy Industry, ternyata dulunya ada tambang tembaga di Pulau Shikoku. Maka berdirilah Sumitomo Metal, lalu Sumitomo Heavy dan Sumitomo Chemicals.. alhasil berjamurlah juga perusahaan-perusahaan kecil yang menjadi supplier maupun sub-contractor Sumitomo Groups ini.

Setelah hampir 2 jam perjalanan, akhirnya tibalah penulis di Niihama di Provinsi Ehime. Trotoar di Niihama terlihat apik dan lebar, suasana kota pun cukup teduh dan tidak bising. Hanya saja transportasi umum agak jarang, jadi kemana-mana biasanya naik taksi! (dan sepertinya hampir setiap penduduk lokal memiliki mobil). Untunglah Sumitomo Chem menyediakan kupon naik taksi secara gratis, wah benar-benar kaya nih perusahaan!

Setelah presentasi riset secara kacau balau (karena dalam Bahasa Jepang), penulis pun balik ke Hotel Alpha-One untuk rehat sejenak. Suasana kota kecil seperti Niihama yang tenang memang cocok sebagai pelarian sejenak dari kebisingan kota kosmopolitan seperti Tokyo (walaupun mungkin membosankan juga kalau harus tinggal lama   =P). Setelah mencoba ramen lokal (porsinya gede banget) dan belanja beberapa keperluan di supermarket terdekat, penulis pun mempersiapkan rencana perjalanan buat besok.

Baru sadar ternyata tiket bus dari Okayama ke Tokyo/ Yokohama sudah ludes buat besok malam (karena Jumat malam.. banyak orang yang juga pergi maen ke Tokyo). Bukan cuma bus dari Okayama, dari Kobe, Himeji, Osaka, Kyoto dan sekitarnya yang menuju ke arah Tokyo semua ludes!! Sialan, apakah terpaksa harus naik Shinkansen buat balik ke Tokyo (mana kupon student discount nya uda kepake buat beli tiket Shiokaze). Akhirnya penulis pun terpaksa berjibaku mencari opsi-opsi bus yang berangkat dari daerah lain.. mungkin saja masih ada yang tersisa. Yupz ketemu! Bus berangkat dari Takamatsu (Provinsi Kagawa) dan juga lewat di Tokushima masih ada.. agak mahal memang.. 8000 yen.. tapi tertulis deluxe punya.. setelah melakukan kalkulasi (tiket Shiokaze sampai Okayama aja 4000 yen, ditambah Bus Okayama – Tokyo juga sekitar 4000 yen, sudah 8000 yen). Sama dunk biayanya.. dan kalau berangkat dari Takamatsu, bisa sekalian main dulu ke Ritsurin Garden.. yosh decided!  =D

Dari Niihama ke Takamatsu (di provinsi lain tapi masih satu pulau), penulis memutuskan mencoba naik kereta lokal. Layanan kereta di Shikoku ini benar-benar jarang (sejam cuma ada 1 atau 2 kereta), dan juga mahal.. sekitar 2000 yen hingga Takamatsu. Kereta bergerak lambat dan sering berhenti (untuk membiarkan Shiokaze lewat terlebih dulu). Karena kereta berjalan lebih lambat, suasana pedesaan pun bisa diamati dengan lebih jelas. Pacu kehidupan lebih rileks, dan jarang tampak guratan wajah penuh tekanan kerja layaknya di Tokyo.

Di dalam kereta, penulis melihat ada seorang nenek tua yang sudah agak bungkuk menggendong cucunya. Sepertinya berat sekali beban si nenek. Terlintas dalam benak penulis, tentunya si nenek juga pernah melewati masa-masa muda, masa ketika fisik masih kuat dan penuh tenaga.. pernah melewati usia seperti penulis, dan juga momen-momen seperti beberapa penumpang lainnya yang masih gadis belia (yang cuek bebek dan menganggap bahwa kemudaan adalah abadi). Akan tetapi, semua momen akan berlalu.. dan usia muda pun suatu saat akan pudar..

Penulis menghela nafas mendalam.. baru saja kemarin malam menonton tayangan televisi semacam quiz yang menantang beberapa dokter muda untuk men-diagnosis penyakit pasien. Si pasien (seseorang nenek tua juga) suka kejang-kejang di malam hari, menceritakan riwayat hidupnya ke empat dokter muda tersebut untuk dianalisis (penulis mesti mengakui beberapa siaran TV di Jepang memang cukup kreatif dan juga edukatif, tidak seperti di Indonesia yang suka meniru-niru). Dari program TV ini empat dokter muda memberikan kesimpulan penyakit yang berbeda-beda, masing-masing dengan analisisnya.. dan setelah mereka mengemukakan hasil analisis mereka, mereka berdiskusi dengan seorang dokter yang sudah menangani si pasien selama bertahun-tahun (dan sudah mengetahui apa sebenarnya penyakit yang diderita pasien). Anyway, ketika si pasien menceritakan riwayat hidupnya (termasuk foto ketika ia masih gadis belia), penulis cukup terperanjat.. ehh, ternyata cakep juga si nenek ketika masih muda.. sulit dipercaya sekarang jadi seperti ini.. ketika menjadi tua bukan cuma keriput, tubuh pun menjadi melar..  akhh.. memang manusia ketika masih muda dan memilih pasangan yang menurutnya cakep, tertipu oleh khayalannya sendiri.. yang menganggap cinta dan keindahan itu adalah abadi adanya..

Karena merasa lelah sekali, akumulasi dari kurang tidur di hotel juga leher yang sakit akibat terpelintir ketika tidur semalaman di bus, penulis pun tertidur di kereta lokal yang menuju Takamatsu yang memakan waktu hampir 3 jam (akibat lambat dan sering berhenti !!). Tiba di Takamatsu pun sudah mulai sore dan penulis langsung naik bus menuju ke Ritsurin Garden yang katanya elok. Setelah membeli tiket masuk 400 yen, dan melewati main gate, tidak tampak seorang pun! Wow, serasa masuk ke kebun luas milik pribadi.  :p (mungkin karena hari itu gerimis seharian). Tapi setelah masuk ke agak dalam, tampak beberapa pengunjung lainnya.. Penulis pun membagikan sisa roti ke ikan koi, kura-kura, dan merpati yang berebutan melahap serpih-serpih roti yang penulis berikan. Jari penulis pun beberapa kali digigit oleh kura-kura, yang rasanya geli sekali karena ternyata kura-kura itu sebenarnya ompong (tidak bergigi).

Setelah menghabiskan sekitar satu jam lebih di Ritsurin Garden, penulis pun balik ke Stasiun Takamatsu untuk melihat Takamatsu Castle dari luar, dan juga pergi melihat Pelabuhan Takamatsu. Dari Pelabuhan Takamatsu, kita bisa mengunjungi pulau-pulau kecil di Seto Inland Sea, seperti Shodoshima dan Teshima. Sebelum beranjak ke bus yang berangkat pukul 21:00, penulis pun mengisi perut di sebuah  restoran Hongkong, yang tiap menu harganya 500 yen. Bus malam pun berangkat dari Takamatsu ke Tokushima yang kemudian akan menyeberang ke Pulau Awaji langsung tembus ke Kobe dan lanjut menuju ke Tokyo/Yokohama.

Dan penulis pun mendapatkan ongkos transport dari Sumitomo Chemical sekitar 38000 yen. Perjalanan yang melelahkan.. namun cukup menyenangkan.  =)