Pendakian yang Melelahkan di Gunung Kitadake

September 30, 2013

(Oleh: Willy Yanto Wijaya)

Kalau dipikir-pikir, sebelum Gunung Kitadake, terakhir kali penulis mendaki gunung adalah enam tahun yang lalu, yaitu pertama kalinya penulis mencoba yang namanya mendaki gunung. Tidak tanggung-tanggung, pertama kali langsung mendaki Gunung Fuji, gunung tertinggi di Jepang dengan ketinggian 3776 meter. Setelah itu memang ada mendaki gunung-gunung kecil, tapi dalam ketinggian kisaran 1000 meter, seperti Gunung Takao, Huangshan; jadi terasa lebih mirip hiking (pendakian santai). Ketika mendapat ajakan dari teman-teman buat mendaki Gunung Kitadake, gunung tertinggi kedua di Jepang dengan ketinggian 3193 meter, penulis seperti mendapat panggilan dari alam. Toh sebelumnya sudah pernah manjat gunung yang lebih tinggi, harusnya ga masalah dengan pendakian kali ini, pikir penulis, tapi ternyata penulis salah besar!! Pendakian Gunung Kitadake ternyata lebih sukar ketimbang Gunung Fuji.

Gunung Kitadake adalah puncak tertinggi di gugus Pegunungan Minami Alps. Ada banyak sekali gunung di gugus pegunungan ini. Akhirnya, tanggal 20 September 2013 malam, penulis pun berangkat ke Kofu (Prefektur Yamanashi). Tiba di sana sudah tengah malam, dan kami pun bermalam di tempat karaoke. Beberapa teman yang gila karaoke pun sempat nyanyi sampai jam 1 malam, padahal kami harus bangun jam 3 malam buat ngantri bus pertama yang menuju ke Hirogawara, base area di kaki gunung Kitadake.

Pagi hari sekitar jam 6-an, kami pun tiba di Hirogawara. Sebelum mendaki, biasanya para pendaki dianjurkan untuk melaporkan diri agar kalau hilang atau ga balik-balik bisa dikirimkan regu penyelamat untuk mencari. Walaupun masih ngantuk kami pun memulai pendakian kami melewati rute Okanbazawa, yang bisa penulis sebut sebagai rute mata air, karena banyak sekali jeram dari mata air yang mengalir disana sini. Awal-awal rute dihiasi oleh hutan pinus, melewati banyak jeram yang airnya begitu jernih dan bening, kadang-kadang sepatu bisa basah ketika menyeberang jeram kecil yang menyalib rute pendakian. Luar biasa indah dan menawan! (ini berbeda dengan Gunung Fuji yang miskin akan vegetasi dan juga kering – hampir tidak ada air). Setelah sekitar dua jam pendakian, mulailah rute diisi oleh banyak batu cadas. Rute cadas selama berjam-jam ini sungguh melelahkan. Efek kurang tidur mulai membuat kepala penulis agak pening, dan juga perut pun mulai merasa lapar karena hanya sarapan sedikit onigiri paginya. Matahari pun sudah mulai naik semakin ke atas menuju tengah hari, dan rute bebatuan cadas pun seakan tiada akhir. Minuman yang penulis bawa sudah habis, rasanya pengen sekali mengisi air dari mata air yang bening… tapi agak ragu karena mungkin ada pendaki yang mencuci muka atau tangan di hulu sana… jadi penulis terpaksa bertahan dan ketika sudah mendekati puncak, terlihat jeram mata air bercabang. Cabang yang satunya menyelusuri rute pendakian, satunya lagi berasal dari daerah yang sulit didaki. Nah penulis pun memanjat sedikit agak tinggi ke jeram mata air yang agak terisolir, yang tidak terlihat ada seorang pun, dan mengisi botol dengan air dari mata air Minami Alps. Walaupun agak ragu, akhirnya penulis pun mencoba minum, luar biasa segar!! Benar-benar fresh, tidak seperti air keran di Tokyo yang bisa diminum, namun agak sedikit aneh rasanya. Ini pertama kalinya penulis minum langsung dari air alam tanpa dimasak/difilter terlebih dulu, dan ternyata tidak terjadi apa-apa.

crystal clear spring water

long climb

tough climb

Ketika tiba di sebuah undakan hampir dekat puncak, rasanya sudah hampir tewas. Rasa kantuk yang mengakumulasi dan kepala nyut-nyut, membuat penulis pengen menyerah saja. Memang hari ini kami belum berencana memanjat ke Puncak Kitadake, jadi kami akan terlebih dulu menuju ke Gubuk Kitadakesanso, yang untuk menuju ke sana masih perlu satu setengah jam lebih, menyelusuri tebing sempit di antara lereng pegunungan.

narrow slope edge

Sudah jam dua siang, angin dingin mulai bertiup menghembus kami yang melewati tebing sempit berbatu. Sialnya tongkat penulis dari batang kayu patah, padahal rute sempit ini naik turun dan cukup berbahaya. Vegetasi di atas gunung agak minim, jadi susah mencari pohon kayu. Setelah menelusuri sana sini, akhirnya penulis mencerabut akar dari pinus tanah yang hanya setinggi perdu. Awan agak hitam tampak melintas di depan, untunglah awan tersebut tertiup angin dan pergi. Akhirnya setelah mencoba memakai sisa tenaga, tiba juga di Gubuk Kitadakesanso.

Padahal planning kami sebelumnya adalah dari gubuk ini kami bisa mencoba jalan ke Gunung Ainodake (3189 meter), karena puncak gunung ini masih terhubung dengan puncak Gunung Kitadake, dan gubuk kami ada di tengah-tengahnya. Tapi kondisi kami sudah mustahil. Walaupun satu biji pisang 100 yen, dan satu botol Pocari Sweat 400 yen, sudah tidak penulis pikirkan lagi mahalnya. Salah seorang teman penulis membawa tenda, dan membayar 600 yen buat menyewa camp site di sekitaran gubuk. Karena tenda cuma muat buat dua orang teman yang berbadan besar, sisanya kami empat orang nginap di dalam gubuk gunung. Biaya nginap 1 orang cukup mahal 7900 yen (tapi termasuk makan malam 1600 yen, dan sarapan 1100 yen). Jadi nginapnya doank 5200 yen/orang, ini sangat mahal karena mesti sharing satu futon buat 2 orang, luar biasa sempit.

serene sunset

Sebelum makan malam, kami pun keluar melihat matahari terbenam. Karena jaket tertinggal di dalam gubuk, penulis pun menggigil kedinginan… angin senja bertiup luar biasa kencang. Rona merah senja yang tersisa dan mulai menghilang.. membuat penulis merenung koq bisa-bisanya mau bikin hidup susah dengan pendakian setengah mati kayak begini. Tapi karena ya sudah telanjur ada di atas gunung, sekarang yang penting adalah memulihkan raga agar besok bisa segar kembali.

Makan malam hangat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Untuk porsi yang lezat seperti ini (dengan ikan, miso siru yang panas, dan nasi bisa tambah sepuasnya), dan juga memikirkan bagaimana gas LPG buat masak, dan juga bahan-bahan masakan harus diangkut pake helikopter, sebenarnya 1600 yen tidaklah mahal. Akhirnya penulis pun bisa mengisi ulang sisa energi yang sudah hampir habis.

Bintang-bintang terlihat bertaburan indah di langit malam. Pun demikian penulis memilih untuk bersemayam di dalam kamar gubuk dan memutuskan untuk tidur lebih awal karena harus bangun sebelum jam 5 pagi untuk melihat matahari terbit keesokan harinya, juga untuk mendaki ke Puncak tertinggi di Kitadake. Anda jangan pikir kamar di dalam gubuk yang harganya 5200 yen per orang pasti bagus, gilaaa.. kalau mau dibilang nih kamar lebih mirip camp pengungsi. Satu kamar dengan ketinggian langit-langit maksimal 2 meteran, diisi lebih dari 30 orang, dengan tiap orang hanya mendapatkan luas wilayah setengah futon. Dan parahnya lagi, udara terasa panas hingga tengah malam, untunglah setelah itu mulai menjadi adem dan penulis pun bisa mulai terlelap.

Satu hal lainnya yang bikin penulis agak sensi adalah peraturan bahwa harus bayar 100 yen per 1 liter air dari keran di dalam gubuk. Padahal sudah bayar mahal buat nginap, toh lagipula kita tidak memakai air tersebut secara mubazir. Toilet di dalam gubuk juga bau, dan air kerannya kadang ga ngalir… akhirnya penulis lihat banyak juga orang Jepang yang cuci tangan dari keran air 100 yen/liter tersebut. Penulis sendiri lebih memilih ke toilet alam saja, tidak perlu bau dan bisa menghirup udara segar lagi, setelah itu baru cuci tangan, cuci muka, gosok gigi, dsb dari air keran 100 yen/liter.

Keesokan paginya rasanya begitu segar… tidur cukup, makan/minum cukup.. dan penulis pun setelah sarapan pagi, langsung pergi keluar gubuk menyingsing mentari yang masih tersembul malu-malu di balik awan jauh di ufuk timur. Kali ini dengan berseragam lengkap: jaket musim dingin, kupluk, dan sarung tangan winter.. penulis pun bisa menikmati terbitnya matahari tanpa perlu menggigil.

Dua orang teman yang nginap di tenda menggigil semalaman. Dingin sekaliii.. ujar mereka. Memang sungguh ironi.. penulis yang kepanasan kemarin ingin sekali udara dingin yang segar, sedangkan teman yang di tenda kedinginan ingin sekali udara panas yang menghangatkan.. Penulis agak khawatir dengan salah seorang teman yang nginap di tenda, karena dia masih mengalami kepala pusing. Padahal pagi ini kami akan lanjut memanjat ke Puncak tertinggi Kitadake, kemudian turun gunung hari ini juga. Akhirnya salah seorang teman yang paling kuat di antara kami, membantu membawakan ranselnya. Tanpa banyak basa-basi, kami pun lanjut menuju Puncak Kitadake.

Mt Fuji seen from Kitadake Peak

Dari Gubuk Kitadakesanso menuju Puncak Kitadake sudah tidak begitu jauh lagi, kira-kira dua jam-an. Di kejauhan, Gunung Fuji pun tampak menjulang indah… dengan barisan pegunungan lainnya yang agak rendah. Benar-benar segala upaya susah payah mencapai Puncak Kitadake akhirnya puas terbayarkan oleh pemandangan menakjubkan.

with pine root at Kitadake Peak

Setelah puas menikmati puncak tertinggi, kami pun mulai turun gunung. Walaupun turun gunung diproyeksikan tidak akan selelah manjat gunung seperti hari sebelumnya, akan tetapi turun gunung cukup berbahaya, karena melewati cadas dan kerikil gampang tergelincir. Untuk rute turun gunung, kami memilih rute yang berbeda dengan rute pendakian. Kami memilih Rute Kusasuberi, yang penulis sebut rute perdu, karena banyak sekali perdu Kusasuberi, juga perdu bunga dan pohon cherry. Rute hijau yang sangat indah.

Akan tetapi di tengah perjalanan, kaki penulis mulai sedikit kram. Dan juga penulis sempat terpeleset ketika sudah mendekati daerah hutan pinus dekat kaki gunung. Temen-temen penulis yang cemas menyuruh penulis kembali ke rute yang benar. Tapi ribet dan juga susah untuk manjat kembali ke atas, jadi penulis segera melihat ke bawah dan mengira-ngira dimana bisa meluncur mendekati rute yang benar, serta meminta mereka agar tenang dan jangan panik. Akhirnya penulis turun sambil setengah meluncur melalui lereng gunung dan bisa kembali ke jalur normal, celana pun kotor oleh tanah. Benar-benar sebuah petualangan!

Setelah 4-5 jam turun gunung (yang diselingi oleh pemberhentian sejenak di daerah perkemahan dekat sebuah kolam Shiraneoike sambil makan es krim rasa ramune), serta di tengah jalan melihat ada sebagian pendaki yang naik ke atas lewat rute Kusasuberi ini terhempas kelelahan sambil bilang “Mou muri da” (“Sudah ga sanggup lagi”) – padahal rute sampai ke atas masih cukup jauh lho  ;p (penulis jadi ingat pengalaman sendiri hari sebelumnya dimana jantung berdetak begitu kencang akibat hampir mati kelelahan); akhirnya kami pun tiba kembali ke base area kaki gunung di Hirogawara. Ketika melihat kembali ke atas, gilaaa.. deretan gunung terlihat menjulang begitu tinggi.. hampir tidak bisa dipercaya, penulis telah berhasil memanjat sampai ke puncak teratas.

Dari Hirogawara balik ke Kofu, di beberapa segmen perjalanan, terlihat bus melewati ngarai yang begitu dalam.. akan tetapi tubuh yang pegal kelelahan dan kaki kram, serta tidak bisa mandi semalaman di atas gunung (karena keterbatasan air di puncak gunung), membuat pikiran ingin sekali cepat-cepat balik ke rumah dan berendam di air panas merilekskan tubuh yang lelah dan bau keringat. Di tengah jalan, penulis melihat ada ambulans yang datang dari arah berlawanan, mungkin menuju ke Hirogawara. Entah apa yang terjadi di gunung, mudah-mudahan baik-baik saja.

Dua tiga hari sesudahnya… kaki penulis masih lemas dan kram.. walaupun begitu tetap harus masuk kerja dan karenanya terpaksa berjalan tertatih-tatih. Sampai jumpa di gunung yang lain, dan mudah-mudahan masih ada kesempatan untuk berpetualang lagi.