Pertama Kalinya Menginjakkan Kaki di Benua Afrika dan Timur Tengah: Catatan Perjalanan Afrika Selatan, Zimbabwe, dan Uni Emirat Arab

(Oleh: Willy Yanto Wijaya)

Zambezi Heli

Akhir 2014 sampai dengan awal 2015 penulis berkesempatan mengunjungi Benua Afrika bagian selatan plus singgah sejenak di salah satu negara Arab. Catatan perjalanan ini berisi kesan-kesan pribadi terutama observasi terhadap aspek sosio-humaniora negara-negara yang penulis kunjungi. Beberapa poin dalam catatan perjalanan ini mungkin juga berguna buat yang ingin mencoba menjajal itinerary yang tidak begitu lazim ini. =D

Memanfaatkan libur akhir tahun perusahaan, ditambah cuti beberapa hari; akhirnya diputuskan liburan kali ini akan mencoba menjajal Benua Afrika sebagai destinasi utama. Ketika browsing tiket-tiket, penulis melihat ada tiket pulang yang cukup terjangkau bisa transit sekitar 10 jam-an di Dubai dengan maskapai Emirates (kita bisa apply visa Uni Emirat Arab melalui website Emirates juga – namanya transit visa 96 jam). Akhirnya dimulailah perjalanan (liburan) panjang yang cukup melelahkan, total waktu yang penulis habiskan di dalam pesawat lebih dari 50 jam, dengan runutan lebih kurang sebagai berikut: Tokyo – Hongkong – Jakarta – Bangkok – Johannesburg – Victoria Fall – Cape Town – Pretoria – Johannesburg – Dubai – Jakarta – Hongkong – Tokyo. (rasa-rasanya penulis sudah terkena radiasi sinar kosmik berlebihan di angkasa, lol..)

Afrika adalah benua ke-5 yang penulis kunjungi, jadi memang penulis cukup excited dengan perjalanan ini. Akan tetapi sebelum berangkat penulis membaca bahwa beberapa wilayah seperti di Johannesburg sangat rawan kriminal, jadi mesti berhati-hati dan melakukan riset memadai terlebih dahulu wilayah mana saja yang perlu dihindari.

Tanggal 23 Desember malam dari Jakarta transit di Bangkok, penulis mengamati bahwa sebagian besar penumpang dari Bangkok (Thailand) menuju Johannesburg (Afrika Selatan) adalah warga kulit putih Afrika Selatan. Cuma ada beberapa penumpang kulit hitam, padahal populasi kulit putih di Afsel (Afrika Selatan) hanya sekitar 10%.

Tanggal 24 Desember pagi, akhirnya tibalah penulis di O.R.Tambo Int. Airport. Walaupun penumpang yang antri untuk imigrasi cukup padat, tapi antrian berjalan cukup lancar. Screening terhadap virus Ebola pun tampak cukup ketat, tiap penumpang di-scan suhu tubuh, dan diminta melepaskan kacamata (emang ngefek gitu?). Nah baru saja tiba di Afsel, sudah ada kejadian yang tidak etis yang akan penulis kritik. Di depan antrian penulis, seorang petugas imigrasi (pria kulit hitam) tampak sengaja mempermainkan/ menyulitkan satu cewe India. Petugas imigrasi tersebut sengaja melambat-lambatkan dan nanya ini itu macam-macam. Padahal dari kejauhan penulis lihat nih cewe India punya tiket penerbangan dari Montreal (Kanada) juga Belanda (entah transit atau apa). Terus petugas tersebut bergumam “Oh beautiful lady.. bla..bla..”. Memang sih nih cewe India lumayan cakep, langsing, dan terlihat seperti cewe smart. Tapi benar-benar ga sopan petugas imigrasi berkelakuan seperti ini, terlebih mereka di lini depan yang mencerminkan sebuah negara. Si cewe hanya diam saja tidak bergeming, akhirnya setelah makan waktu lama, si petugas imigrasi meloloskan juga stempel masuk Afsel.

Dari bandara penulis pun menuju ke area Sandton (Johannesburg) menggunakan Gautrain (kereta api lumayan cepat walaupun agak mahal). Tapi Gautrain ini aman karena banyak security nya. Di dalam kereta penulis amati ada juga beberapa penumpang kulit hitam yang cukup mampu secara ekonomi, memakai banyak perhiasan dan gadgets.

Penulis memilih nginap di hotel di wilayah Sandton karena dari review di internet terlihat relatif lebih aman, dan lagipula karena daerah downtown (pusat kota) Johannesburg sangat rawan dan sudah sering terjadi kasus pemalakan, perampokan terhadap turis. Di peta jarak dari Gautrain station ke hotel tertulis sekitar 700 meter, tapi ternyata tidak dinyana jauh juga! Belum lagi sialnya jalan menuju hotel, trotoarnya rusak parah (sedang diperbaiki). Di tengah jalan tampak seorang ibu menggendong anak sepertinya sedang mengemis ke kendaraan yang berlalu lalang. Akhirnya setelah ngos-ngosan dan sedikit damage ke roda koper karena trotoar rusak bergelombang, tibalah juga di hotel. Bodoh sekali penulis karena ternyata sebenarnya ada free shuttle dari Sandton Gautrain Station menuju ke hotel setiap satu jam sekali. Ya tapi memang apa boleh buat juga karena toh penulis ga tau sebelumnya tentang hal ini, dan juga naiknya harus dari lokasi shuttle pick-up di samping Nelson Mandela Square.

Keesokan harinya, penulis pun safari menuju Pilanesberg National Park, terletak sekitar dua setengah jam dari Johannesburg menggunakan mobil. Pilanesberg ini merupakan gunung yang terbentuk dari struktur vulkanik kuno yang sudah tidak aktif lagi, terakhir meletus 1200 juta tahun yang lalu. Pemandangan sepanjang jalan ketika mendekati Pilanesberg cukup unik, dengan gunung dan tanah datar terselang-selingi padang perdu khas Afrika. Safari dimulai dari pagi hingga sore sekitar jam tiga, penulis berhasil melihat beberapa jenis rusa khas Afsel, monyet baboon, babi hutan, zebra, jerapah, badak, gajah, kuda nil, dkk; akan tetapi sayang sekali tidak berhasil melihat singa atau macan. Si pemandu safari mengatakan biasanya mesti subuh atau pagi-pagi buta baru chance melihat hewan karnivora bisa lebih tinggi.

Pilanesberg National Park

Di safari ini, penulis se-grup bersama seorang warga negara Amrik kulit hitam (veteran dari US Navy) bersama istrinya orang Jepang dan satu anak mereka. Mereka tinggal di Addis Ababa (Ethiopia) dan juga sedang berlibur di Afsel. Kami pun banyak berbincang-bincang, mulai dari kondisi kehidupan di Ethiopia yang sangat tidak menyenangkan menurut mereka; hingga pernah juga kamera DSLR mahal milik veteran militer Amrik yang hilang dari bagasi pas naik Kenya Airways ke Addis Ababa, sampai-sampai veteran ini bilang ke penulis untunglah penulis ga jadi naik Kenya Airways melainkan naik Thai Airways ke Johannesburg. Tapi sebenarnya menurut penulis belum tentu petugas Kenya Airways pelaku pencurian kamera Beliau, bisa juga pelakunya adalah petugas bandara di Addis Ababa. Dari riset yang penulis telusuri, di bandara Johannesburg juga kabarnya sering hilang iPad, handphone, dsb dari bagasi, makanya penulis tidak pernah meletakkan barang berharga di dalam bagasi. Awalnya memang penulis rencana dari Jakarta ke Bangkok naik Thai Airways, kemudian dari Bangkok ke Johannesburg (transit di Nairobi) naik Kenya Airways karena bisa lebih murah.. akan tetapi karena transit di Bangkok cuma sekitar sejam dua jam, agak riskan apabila bagasi ga bisa secara otomatis ditransfer ke penerbangan berikutnya (karena beda maskapai).

Setelah puas keliling mencari-cari hewan, kami pun kembali ke kota. Di perjalanan pulang, pemandu safari kami seorang pria kulit hitam yang bernama Adolf Mhlongo bercerita soal zaman Apartheid dulu ternyata orang-orang kulit hitam dilarang sekolah. Kami juga berbincang soal harga mobil dan rumah di Afsel, gaji rata-rata, kepemilikan tanah, harga bensin per liter di Afsel yang sekitar Rp.13 ribu, hingga soal buah-buahan khas Afsel.

Tiba di kota sudah sore, penulis pun berpikir mau singgah di mall dekat Nelson Mandela Square untuk membeli makanan di resto Asian Food, eh ternyata pada tutup semua karena bertepatan dengan hari Natal.

Pengalaman lucu lainnya hari itu adalah ketika supir shuttle pick-up hotel yang mengira penulis adalah pemilik perusahaan energi, dan bilang dia pengen apply bekerja disana. Penulis bertanya kan dia sudah punya kerjaan sebagai supir shuttle? Si supir hanya tertawa “This is not a job”, yang menurut dugaan penulis bayaran supir shuttle pastilah sangat tidak memadai.

Hari berikutnya, penulis pun berangkat ke Victoria Fall di negara Zimbabwe. Alasan mengunjungi Victoria Fall adalah karena ia merupakan salah satu air terjun terbesar di dunia; dan juga kita sebagai pemegang paspor RI bisa mendapatkan visa-on-arrival untuk masuk ke Zimbabwe. Zimbabwe pernah mengalami inflasi gila-gilaan hingga menerbitkan uang kertas bernominal hingga Trilyunan Zimbabwe Dollar, yang akhirnya sudah ga dipake lagi. Sebagai pengganti, Zimbabwe memakai US Dollar dalam transaksi keseharian. Mata uang Rand Afsel juga sepertinya cukup lazim diterima (penulis pernah mencoba beli es krim membayar dengan Rand – dan diterima).

Bandara Victoria Fall tergolong cukup kecil dan hanya beroperasi pada siang hari saja (tidak ada lampu penunjuk arah malam hari). Dari bandara ke kota cuma bisa dengan taksi yang tarif sekitar 30 USD (bisa ditawar menjadi 25 USD) atau shuttle yang per orang 12-15 USD. Tapi penulis mendapati seorang supir taksi yang cukup cerdik, yang memberikan nomor teleponnya ke penulis dan bilang kalau dari hotel ke bandara nanti bisa naik taksi dia cuma 20 USD.

Di Victoria Fall penulis menginap dua malam, dan pertama kalinya pengalaman naik helikopter memutari Sungai Zambezi yang menjadi perbatasan negara Zimbabwe dan Zambia. Juga terlihat dari udara, Air Terjun Victoria yang hantamannya ke dasar ngarai menyebabkan kabut percikan air. Luar Biasa!

Victoria Fall

Tentu saja bukan cuma melihat dari udara, penulis pun masuk ke area air terjun (Mosi Oa Tunya) yang disampingnya berupa hutan basah tropis. Biaya masuk cukup mahal per orang kena 30 USD untuk warga negara asing (untuk WN Zimbabwe cuma 7 USD). Memang sesuai namanya hutan basah tropis, hari itu pun turun hujan cukup deras. Walaupun deras untunglah hujannya cepat berhenti, meskipun penulis cukup basah kuyup.

Menjelang sore, perut keroncongan membuat penulis mampir di Asian Resto Nam Took. Ternyata pemilik resto adalah seorang ibu-ibu Thailand keturunan Tionghoa. Ngomong-ngomong, diet orang Afrika sebagian besar berupa daging, kentang, salad biasanya tanpa nasi; jadi apabila Anda merasa lagi pengen makan nasi memang mesti mencari Restoran Asia. Walaupun agak mahal, tapi menurut penulis restoran ini cukup bagus karena tidak sembarang men-charge biaya siluman. Memang, karena daerah turis, harga hotel, resto, taksi, entrance fee, dan barang-barang di Victoria Fall semuanya bisa dibilang over-priced.

Satu hal yang cukup mengganggu di Victoria Fall adalah para pedagang yang pushy dan suka memaksa. Di sepanjang jalan banyak yang menjajakan hasil ukiran ataupun uang kertas Zimbabwe Dollar yang sudah tidak berlaku. Mereka suka terus mendesak, membuntuti, memelas ke Anda untuk membeli. Akhirnya penulis pun “terpaksa” membeli beberapa uang kertas Zimbabwe Dollar. Untuk siang hari, mungkin masih oke untuk berjalan, karena penulis melihat ada petugas security yang memang sengaja diturunkan untuk menjaga para wisatawan agar tidak terjadi apa-apa (sebab ekonomi daerah ini sangat bergantung dari pariwisata Air Terjun Victoria). Tapi setelah hari menjelang malam sebaiknya stay di hotel.

Ketika akan beranjak dari hotel balik ke bandara, penulis pun mencoba tanya ke resepsionis hotel apakah mereka ada jasa shuttle. Ternyata satu petugas resepsionis bilang ga ada, dan dia bisa menelpon taksi biayanya 30 USD. Karena teringat supir taksi cerdik yang menawarkan tarif 20 USD, penulis pun meminta petugas resepsionis tersebut agar menelepon nomor HP si supir taksi. Ga bisa nyambung, kata si petugas resepsionis. Setelah penulis balik ke kamar, dan setengah jam kembali lagi ke resepsionis, kali ini meminta petugas resepsionis (orang yang berbeda) dan nyambung. Akhirnya pun penulis kembali naik ke taksi si supir cerdik bernama Champion Ndebele. Nama orang Afrika emang unik-unik ya.. haha.. Penulis pun bilang tadi sempat coba call ke handphone nya tapi ga nyambung. Si supir taksi bilang ga mungkin karena kedua no HP nya selalu hidup dan standby dari tadi. Hmm sudah penulis duga dari tingkah mencurigakan petugas resepsionis yang pertama, sengaja pura-pura pencet nomor secara salah biar dapat komisi =D secara ini juga petugas yang malam sebelumnya pas penulis pengen extend stay di hotel, yang pas penulis tanya berapa harga kamar semalam, nih petugas mark-up harga beberapa puluh USD. Ya memang kenyataan dimana-mana selalu sama, orang Afrika pun ada yang jujur dan ada juga yang tidak.   🙂

Dari Victoria Fall, destinasi penulis berikutnya adalah Cape Town, kota berpenduduk di atas satu juta jiwa paling selatan tidak hanya di Afrika Selatan, tapi juga paling selatan di seluruh Benua Afrika. Tiba di Cape Town, hari sudah malam. Dari bandara, penulis naik bus MyCiTi ke terminal bus di pusat kota. Malam itu angin bertiup luaaaaaar biasa kencang, sangat kencang seperti angin taifun di Jepang. Ada satu kejadian menarik, yaitu satu cewe Afsel kulit putih yang duduk di samping penulis di dalam pesawat, ketika turun naik bus MyCiTi berada di bus yang sama dengan penulis (padahal cuma ada 3 penumpang di dalam bus menuju kota). Pas sudah turun, karena satu arah, si cewe baik hati menawarkan tumpangan taksi Uber (Uber ini salah satu business model terbaru dimana Anda bisa memanggil mobil pribadi terdekat – terdeteksi lewat GPS di aplikasi Uber – yang bersedia menjadi semacam “taksi privat” – Anda membayar lebih murah dibanding taksi reguler). Dari cerita, akhirnya penulis pun tau bahwa angin sekencang badai ini adalah normal bagi penduduk Cape Town, dan biasanya sering terjadi bulan November – Desember.

An Old Church in Cape Town

Penulis stay dua malam di Cape Town, hotel pertama Capetonian Hotel dan hotel kedua sangat menarik yaitu Tudor Hotel, hotel tertua di Cape Town berdiri sejak tahun 1750. Elevator nya pun sangat kuno dan unik, khas zaman baheula punya. =D

Di Cape Town, penulis berencana naik cable car ke Table Mountain, akan tetapi ajeee gilee antriannya luaaaar biasa panjang!! Harus ngantri mungkin lebih dari empat jam, belum lagi mesti antri beli tiket, belum lagi orang-orang antrinya kacau balau dan suka serobot sana sini (–)”.   Mungkin karena liburan akhir tahun, orang-orang Afsel semuanya pada ke Cape Town (mungkin Cape Town mirip Bali kalau di Indonesia), jalanan pun macet dengan mobil. Akhirnya penulis pun menyerah dan balik ke kota.

Destinasi lainnya di Cape Town yang penulis incar adalah melihat Penguin Afrika di Boulders Beach. Dari Cape Town, kita bisa naik kereta Metro sekitar sejam-an menuju ke arah selatan ke Simon’s Town, kemudian dari Simon’s Town kita bisa naik angkot (cuma sekitar Rp 8000,-) ke Boulders Beach. Penulis sarankan Anda membeli One Day Pass buat tiket kereta Metro Plus (naik yang “First Class” jangan yang “Economy Class”) karena cuma seharga 30 Rand (1 Rand sekitar Rp.1100,-). Murah banget cuma Rp 30 rebuan bisa First Class, pikir penulis pada saat itu… tapi ternyata First Class MetroPlus kondisinya cukup parah   =D hahaha… ga kebayang gimana tuh yang kelas ekonomi!

MetroPlus Cape Town

boulders view

Tapi ga apalah yang penting murah dan aman. Anda akan disajikan pemandangan menakjubkan sepanjang jalan.. kereta ini berjalan di tepi laut dan pantai sepanjang semenanjung sangat selatan di Benua Afrika, tempat bertemunya Samudera Hindia dan Samudera Atlantik, dan apabila Anda melihat kompas ke arah selatan, walau tak terlihat mata, di balik horizon langit, jauh.. jauh.. jauh… disana adalah Benua Antartika (Kutub Selatan). Mungkin karena inilah, makanya Penguin Afrika (yang hidup di alam bebas) cuma ditemukan di Benua Afrika bagian selatan.

Biaya masuk ke Boulders Beach tempat tinggal para penguin sebesar 60 Rand, biaya sudah termasuk entry ke dua spot yakni Pantai Boulders itu sendiri dan juga Observation Spot tempat melihat kerumunan penguin. Sepanjang tapak menuju Observation Spot terlihat semak belukar dan di bawahnya kadang ada penguin. Karena ada penguin yang menghampiri, penulis pun mengelus-elus kepala si penguin, dan disemprot oleh seorang cewe bule di samping. =D haha, ternyata memang ada peraturan dilarang menyentuh penguin. Tapi Anda mesti hati-hati juga pas di dekat penguin, beberapa penguin yang galak mungkin saja mematuk Anda, dan patukannya konon katanya lumayan sakit..

boulders penguin

Setelah balik ke kota Cape Town, menjelang maghrib, ada kejadian yang cukup menegangkan ketika penulis berjalan-jalan mengelilingi kota. Tips: Anda mesti hati-hati ketika menanyakan arah jalan ke orang yang terlihat seperti petugas parkir (memakai rompi berwarna oranye) apalagi ketika hari sudah mulai gelap. Tiba-tiba datang seorang anak kira-kira seumuran SMP meminta uang. Penulis menolak dan terus berjalan.. tiba-tiba dari belakang “petugas” yang sempat penulis tanya soal arah tadi seperti menyahut-nyahut memanggil. Karena firasat yang kurang baik, penulis mengacuhkan panggilan tersebut (sepertinya orang tersebut membawa handy-talkie dan memanggil temannya), penulis pun terus berjalan dan kemudian masuk ke sebuah toko mini-market. Setelah lolos dari incaran mereka, penulis pun segera balik ke hotel karena malam sudah cukup gelap. Dari pengamatan penulis, Cape Town di siang hari cukup aman karena ada banyak petugas keamanan berompi hijau yang terlihat disana sini, di malam hari mungkin beberapa bagian Cape Town masih cukup aman, tapi beberapa bagian agak rawan..

Setelah puas dengan Cape Town, penulis pun balik ke Johannesburg dan bermaksud mampir ke ibukota Afsel yaitu Pretoria. Kota Pretoria terletak di utara Johannesburg, bisa dicapai dengan gampang memakai kereta Gautrain. Pretoria termasuk kota yang cukup kecil. Setelah puas keliling Pretoria, penulis pun kepikiran pengen melihat downtown (pusat kota) Johannesburg terutama wilayah CBD (Central Business District) nya. Dari penuturan orang-orang, wilayah downtown Johannesburg sangatlah rawan bahkan di siang hari sekalipun. Dan biasanya para turis ikutan tur lokal untuk melihat wilayah-wilayah ini. Akan tetapi, ternyata kita bisa naik Gautrain feeder bus dari Park Station buat keliling melihat downtown dan CBD, dan sangat murah cuma 1 Rand!! biaya naik feeder bus ini karena Anda sudah membayar biaya naik kereta Gautrainnya.

Akhirnya penulis pun naik feeder bus dari Park Station untuk keliling melihat pusat kota Johannesburg. Sekitar jarak selemparan batu saja dari stasiun, penulis lihat sudah ada beberapa spot rawan, tempat beberapa preman dan berandalan duduk jongkok sambil nganggur. Wah kalau saja Anda jalan kaki lewat daerah ini pasti sudah habis dipalak atau dirampok. Ada satu pengamatan lagi dari penulis yaitu di downtown Johannesburg, hampir ga terlihat satu orang pun warga Afsel kulit putih! Cuma setelah feeder bus mendekati wilayah perkantoran CBD, dan ada terlihat beberapa petugas security kulit hitam yang memakai rompi berwarna hijau nge-jreng, akhirnya terlihat cuma satu orang pemuda kulit putih Afsel. Dulu katanya ada Chinatown di downtown Johannesburg, tapi akibat vandalisme parah dan kriminalitas, Chinatown pun sudah pindah ke wilayah Cyrildene di pinggiran kota Johannesburg.

Oh ya ada beberapa tips bagi Anda yang akan berkunjung ke Afsel terutama Johannesburg. Yang pertama mengenai aspek keamanan: tanyalah ke petugas hotel tentang daerah yang ingin Anda jelajahi apakah rawan atau tidak. Kereta dan feeder bus Gautrain sejauh pengamatan penulis sangatlah aman. Mall di Johannesburg juga aman karena biasa ada banyak satpam yang berpatroli. Di dalam stasiun maupun terminal bus cukup aman, tapi di luar di area sekitarnya belum tentu aman, jadi Anda mesti berhati-hati. Tips kedua adalah soal money changer. Money changer di Afsel khususnya Johanessburg cukup ribet (harus ngisi formulir ini itu) dan juga merugikan (Anda akan kena commision fee cukup tinggi dan juga rate yang cukup jelek – Anda kehilangan sekitar 10% nilai uang Anda). Jadi saran penulis adalah tarik saja uang Rand di ATM lokal menggunakan kartu ATM yang Anda bawa dari Indonesia.

Tepat New Year Eve, tanggal 31 Desember malam, penulis pun berangkat dari Johannesburg menuju ke destinasi berikutnya yaitu Dubai. Jadi kemarin ketika ditanya oleh teman, penulis ada di mana sewaktu Old ‘n New kemarin, sebenarnya penulis ada di dalam pesawat, mungkin sedang berada di atas wilayah Somalia atau sekitaran Afrika bagian Timur.. hahaha..

Semalaman di pesawat kurang bisa tidur, akhirnya penulis pun tiba di Dubai tanggal 1 Januari pagi. Bandara yang sangat luas dan modern.. Dari bandara kita bisa membeli Nul Card seharga 22 dirham bisa dipakai untuk naik kereta, bus, tram sepuasnya seharian. Memang sangat praktis, pikir penulis. Di Dubai, penulis pun menyempatkan diri pergi melihat Burj Khalifa, gedung tertinggi di dunia; dan juga Mall of Dubai, yang katanya mall terluas di dunia (memang sangat luas sih, kaki pun sampai pegal berjalan kesana kemari padahal cuma di dalam mall). Di banyak sudut kota Dubai, masih terlihat banyak proyek-proyek konstruksi yang sedang dibangun.. Dari gurun pasir yang ga ada apa-apanya hingga jadi kota kosmopolitan seperti ini, memang harus diakui kecemerlangan visi dan pemikiran progresif dari Rashid bin Saeed Al Maktoum, yang kemudian dilanjutkan oleh putranya Mohammed bin Rashid Al Maktoum, Sheikh dari Dubai yang juga merangkap sebagai Perdana Menteri Uni Emirat Arab saat ini. Bahkan ada ungkapan dari Rashid bin Saeed Al Maktoum yang menunjukkan visinya yang jauh ke depan. Ungkapannya yang terkenal adalah “Kakek saya mengendarai unta, ayah saya mengendarai unta, saya mengendarai Mercedes, anak saya mengendarai Landrover, cucu saya mengendarai Landrover, tapi cicit saya mungkin akan mengendarai unta”, yang menunjukkan visi antisipasinya terhadap habisnya cadangan minyak di masa depan. Untuk standard negara Arab, bisa dibilang Dubai memiliki pemikiran yang cukup progresif dan liberal, serta keterbukaannya terhadap kemajemukan dan dunia luar.

me and Burj Khalifa

Ada satu hal menarik lagi di Dubai yaitu penduduk Dubai sebagian besar adalah imigran dari negara-negara Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh) yang datang sebagai pekerja proyek-proyek konstruksi; penduduk asli Emirati cuma sekitar 17% dari populasi (yang sudah mendapatkan tunjangan kesejahteraan dari pemerintah – ditopang oleh penghasilan minyak – makanya enggan melakukan pekerjaan buruh kasar).

Salah satu aspek positif Dubai adalah aspek keamanan yang cukup bagus. Untuk harga-harga barang grocery di supermarket menurut pengamatan penulis masih cukup masuk akal. Akan tetapi makan di food court di dalam Mall sangatlah mahal, sepiring nasi goreng hampir Rp. 100 ribu; dan sepiring nasi lemak dengan teri dan kacang sekitar Rp. 150 ribu!! (apabila dikonversi dari dirham ke rupiah). Dan satu hal lagi mengenai Dubai (ini adalah kesan personal) yaitu menurut penulis Dubai cukup berdebu, mungkin debu pasir dari gurun di sekitar Dubai, sehingga kaca sisi luar gedung-gedung pencakar langit tidak terlihat begitu kinclong.

Oh ya mengenai tips money changer, Anda bisa mendapatkan rate yang lebih bagus di Mall of Dubai daripada di bandara. Kemarin 1 USD = 361 dirham di bandara; dan 1 USD = 364 dirham di Mall of Dubai. Biasanya tidak ada commision fee kalau nukar valas di Dubai.

Sebenarnya ada satu hal yang sempat membuat penulis agak panik pas di Dubai yaitu masalah bagasi. Mestinya bagasi secara otomatis bakal ditransfer dari Johannesburg ke Jakarta, jadinya penulis santai-santai saja melenggang keluar dari bandara Dubai menuju kota tanpa notifikasi ke konter transit. Tapi penulis jadi khawatir.. manatau bisa aja bagasi terdampar di bandara Dubai apabila tidak ada pemberitahuan ke konter transit di Dubai bahwasanya bagasi ini perlu dibawa sampai ke Jakarta? Tapi syukurlah, kekhawatiran penulis ternyata berlebihan.. setelah balik ke Jakarta, untunglah bagasi penulis nongol keluar dari conveyor belt..   =D

Kira-kira demikianlah sekelumit catatan perjalanan penulis menyinggahi Benua Afrika dan Timteng untuk pertama kalinya. Apabila masih ada kesempatan, penulis ingin mengeksplorasi lebih jauh lagi wilayah-wilayah lainnya di Afrika dan juga Timteng ini suatu hari..

edge of africa

Edge of Africa (Tepian Benua Afrika)

 

24 Responses to Pertama Kalinya Menginjakkan Kaki di Benua Afrika dan Timur Tengah: Catatan Perjalanan Afrika Selatan, Zimbabwe, dan Uni Emirat Arab

  1. Nuning says:

    Hi Willy.. semoga masih inget gue.. btw, cerita jalan-jalannya kereeeeennn.. seru juga yah bisa keliling ke Afrika.. kamu persiapannya berapa lama Willy?

    • willyyanto says:

      ya masih ingat lah, hehe..
      ga ada persiapan khusus, paling cuma ngurus visa dan beli tiket beforehands…
      selebihnya uda mpe sana baru dipikirin mau kemana wkwkwkk

  2. Sandy Eggi says:

    ternyata ngeblog juga Willy .. keren ya sampe benua Afrika 🙂

  3. Willy Yanto W says:

    アフリカの旅を振り返って

    2014年の末に初めてアフリカに旅行しました。印象残っている経験と少しアフリカの旅に関するアドバイス・考えを書きます。

    まず、アフリカは五つ目の大陸として私が訪問しました。インドネシアから非常に遠いので、出発の前、少しドキドキしていました。行く時はバンコクで乗り換え南アフリカのヨハネスブルクまで、戻る時はドバイで乗り換えました。南アフリカ以外、ジンバブエのビクトリアの滝にも訪問しました。ということで、今回いくつかの国に行き、飛行機の中にいる時間は合計50時間以上にもなりました。だいぶ疲れました。

    今回は、二つの印象残った経験をピックアップします。一つ目はジンバブエのビクトリア滝での経験です。二つ目は南アフリカのケープタウンに訪問した時の経験を話します。

    ジンバブエは数年前に経済問題が起き、インフレが非常に大変でした。その結果、ジンバブエドルは使えなくなり、現在はアメリカドルを使用しています。「Victoria Fall」という町も有り、空港から街中までタクシーかシャトルだけでいけます。観光地だから、タクシー代やホテル・物価などは相当に高くなっています。ビクトリアの滝は非常に大きくて、ナイアガラの滝に比較すると、高さが2倍ぐらい広さが約1.5倍であり、すごいスケールだと思いました。さらに、ヘリコプターに初めて乗り、ザンベジ川とビクトリア滝の上を回りました。全体的な風景を把握できました。「Victoria Fall」という町を散歩した時、ちょっと嫌な経験があり、それはしつこい売り子でした。「いいえ」と言っても、ずっとあなたの後ろについてきます。何人もいましたし、結局私も兆がつくほど古いジンバブエドルを買ってしまいました。(まあ、$5ほどでしたが。。笑)

    二つ目の印象に残った経験は南アフリカのケープタウンにいた時です。実はもともとの予定としてはテーブルマウンテンのケーブルカーに乗りたかったのですが、非常に混んでいて、少なくとも4時間以上で待たなければなりませんでした。多分年末だからと思います。それで、この予定を諦めて、アフリカペンギンを見に行きました。このペンギンたちはサイモンズタウンのボルダーズビーチにいました。ケープタウンから電車で約一時間、南の方に向かいます。電車は二つのクラスがあり、エコノミークラスと「MetroPlus」というファーストクラス。「MetroPlus」でも1日間乗り放題は30ランド(約300円)のみでした。安いねと感じました。「MetroPlus」に乗った時、あら!少し汚くて薄暗い雰囲気で、電車の中の席・壁に落書きが沢山ありました。まぁ、いいよ、超安くて、安全でさえであれば、十分だ.. と私は思いました。この電車はちょうど海に沿って走るから、すごくきれいな海や半島のビーチが見えました。本当に良かったなぁと感じました。ペンギンたちも可愛くて、ケープタウンに行ったら、ぜひこの電車に乗ってみてください。

    最後に少しアドバイスですが、夜の街散歩は控えたほうがいいと思います。ケープタウンでも一回夕方ぐらいに歩いている時、13歳ぐらいの男の子が来て「お金ください」と言われました。ケープタウンは日中であれば自由に歩いても全然問題ないですけど、ヨハネスブルクのダウンタウンはもっと危ないよということを現地の人が言っていました。ヨハネスブルクのダウンタウンを見たければ、ツアーやGautrainのフィーダーバスに乗れば大丈夫だと思います。私もGautrainのフィーダーバスに乗って、何となくヨハネスブルクのイメージが把握できました。ヨハネスブルクの全てのところが危ないわけではなく、実はいくつかのところだけが危険だと思います。気を付ければ、無事に楽しくアフリカの旅ができるのではないでしょうか。

  4. Sheila says:

    Halo!
    Mau tanya dong kalau ke africa, waktu ke negara2 lain setelahnya jadi sulit ga?
    Maksudnya, kita jadi dipersulit masuk negara lain ga misal jepang, eropa dll karna track record kita pernah ke africa?
    Dikarantina di airport gt?
    Thankyou

    • willyyanto says:

      kalo ke afsel zimbabwe mestinya ga masalah..
      kmren masuk ke dubai, balek indo dan ke jpn ga ada kendala apa2
      cuma yg diawasi klo yg mengunjungi negara2 di Afrika bagian Barat karena wabah Ebola waktu itu, tp skrg ud ga masalah kayaknya

  5. Dyah Permana says:

    Pak Willy, kita berencana ke South Africa akhir bulan 29 Apr – 8 Mei’16 dan juga ke Victoria Falls, jadi route JKT-CPT-Victoria falls-JNB-JKT dengan SQ, mau nanya apakah visa akan bermasalah kalau kita ke Victoria falls terus balik ke JNB ? Dan juga apakah ada tour di victoria falls ?

    • willyyanto says:

      apply visa Afrika Selatan nya yg multiple or double jadi bisa masuk Afsel berkali2,
      sedangkan untuk Zimbabwe bs visa on arrival jadi ga ada masalah

    • willyyanto says:

      di Victoria Fall ada banyak tur lokal koq 😉

  6. Grace says:

    Berkesan sekali baca tulisannya, pak. Jadi tertarik ikut itinerary nya bapak. Waktu itu berapa hari perjalanan dan kalau boleh tau berapa kisaran biaya yang dikeluarkan di Afsel & Zimbabwe? Utk sewa mobil, aplikasi Uber yg sy download di Indo bisa langsung dipakai disana juga kah?

    • willyyanto says:

      sy agak lupa mgkn sekitar 9 hari perjalanan gt..
      biaya tergantung style traveling, yg cukup mahal wkt itu adalah tiket pswt pp ke Afrika kena belasan juta Rp mgkn karena libur akhir tahun.
      sepertinya aplikasi uber bs dipakai di Afsel

  7. ko2mdesu says:

    Salam kenal pak willy, saya kokom dr jakarta. Minat bgt ke Afsel, nambah smangat lagi liat blognya pak willy hehehe… mo tanya boleh donk ya… brapa total budget ke sana dan brapa hari? Terus aman ga buat cewe2 backpaket kesana…soalnya cuman b2 dan cewe smua..

    Makasih banyak

    • willyyanto says:

      budget yg paling mahal mgkn di tiket pswt pp ke Afsel yg bs belasan juta pas high season.
      untuk cewe saya kira perlu berhati2 terutama di Johannesburg, sebaiknya hindari jalan kaki di downtown area, tingkat pelecehan seksual sangat tinggi di Afsel.
      untuk Capetown dan Victoria Fall relatif lebih aman, walaupun malam hari sebaiknya jangan berkeliaran di luar.

  8. Richard says:

    Nice share bro willy,,saya suka baca baca mengenai afrika selatan terlebih kota cape town,krn thn depan maret 2017.. Akan tour kesana,,..thq

  9. Hety A. Nurcahyarini says:

    Halo Mas Willi, kemaren dari Jakarta ke Johannesburg pilih maskapai apa? Transit di Bangkok ya.. Thank u

    • willyyanto says:

      berangkat ke Johanesburg naik Thai Airways transit di Bangkok
      akan tetapi baliknya naik Emirates transit di Dubai

  10. Sari says:

    Saya suka membaca perjalanan anda.traveling yg tidak biasa.tp keren

Leave a comment