Mengembara Mencari Makam Leluhur

September 30, 2012

(Oleh: Willy Yanto Wijaya)

Tulisan ini adalah sekuel dari tulisan sebelumnya “Perjalanan Seribu Li Menyelusuri Negeri Tiongkok”. Kalau hanya sekedar travelling menyelusuri negeri Tiongkok, tentulah tidak sulit. Akan tetapi, selain travelling, kami juga membawa satu misi yang sangat penting, yaitu menemukan makam leluhur. Kami sama sekali tidak ada ide dimana lokasi makam leluhur tersebut, jangankan lokasi makam, bahkan kami tidak tahu alamat kerabat disana yang dapat dihubungi. Kami hanya diberitahu oleh adik dari kakek penulis agar mencari seseorang yang bernama xxxx di kampung ini di Putian (tidak ada alamat lengkap ataupun nomor telepon). Belum lagi kami tidak bisa berbahasa Henghwa (bahasa lokal di Putian – sebuah kota kecil di Provinsi Fujian), bahkan bahasa Mandarin kami saja pas-pasan. Hanya dengan bermodalkan kenekatan, akhirnya kami terbang dari Beijing menuju Fuzhou  (ibukota Provinsi Fujian).

Ada dua kejadian menegangkan dalam perjalanan kami. Kejadian pertama adalah ketika kami mendarat di Fuzhou. Pesawat Xiamen Airline yang kami tumpangi tiba di Fuzhou sudah larut malam (jam 2 malam lewat). Dari bandara, kami pun naik bus menuju kota yang masih memakan waktu sekitar satu jam-an. Kami duduk di barisan bangku yang paling belakang. Rasa lelah yang hampir membuat penulis tertidur tiba-tiba tersirnakan oleh gerak-gerik seseorang yang mencurigakan yang juga duduk di bangku belakang. Lengan pemuda mencurigakan ini penuh dengan tato, gaya berpakaiannya pun khas berandalan/ preman. Tiba-tiba si preman ini menanyakan sesuatu kepada seorang penumpang lainnya, yang sepertinya dijawab tidak tahu oleh si penumpang tersebut. Tiba-tiba si preman mendekat ke penulis dan bertanya soal alamat tertentu, yang penulis juga jawab tidak tahu. Celaka! Tadi awal-awal naik ke bus, penulis dan beberapa anggota keluarga sempat ngobrol-ngobrol dalam bahasa yang tentunya asing dan tidak dimengerti oleh penumpang lainnya… jadi.. tentunya si preman sudah tahu kalau kami bukan orang Fuzhou. Tante-tante penulis pun khawatir dan akhirnya pindah ke barisan tempat duduk agak depan/ tengah yang masih kosong, sambil berusaha agar duduk di sisi bagian dalam (terhalang oleh penumpang lain). Kami pun berusaha agar tidak duduk di bangku yang disampingnya ada bangku kosong karena si preman ini suka tiba-tiba pindah di bangku yang kosong. Penulis mengamati banyak penumpang bus di barisan depan dan tengah sepertinya pada tertidur, tapi ada beberapa penumpang lainnya (orang lokal) yang sepertinya sudah sadar terhadap gerak-gerik orang mencurigakan ini dan menjaga kewaspadaan mereka.

Penulis pun bertanya-tanya rencana apa yang ada di benak si preman ini.. dan upaya apa yang semestinya dilakukan.. bagaimana kalau si preman tiba-tiba membajak bus atau menodong salah satu penumpang untuk dijadikan sandera?? Tiba-tiba si preman menyelonong berjalan ke barisan depan, dan menuju ke si supir bus. Entah apa yang dia omongkan ke supir bus. Gerak-gerik si preman yang mondar-mandir seperti orang gelisah juga semakin membuat banyak orang curiga..

Adrenalin yang terpompa membuat penulis melek total dan hilang sudah rasa kantuk yang tadi melanda. Bagaimana kalau si preman menodong supir bus dan merampok semua penumpang? Sempat kepikiran oleh penulis agar meminta penumpang (orang lokal) yang duduk di samping penulis agar menelpon polisi buat mengikuti bus yang kami tumpangi ini.

Ternyata ketika tiba di persimpangan jalan, bus pun berhenti dan si preman keluar. Oh ternyata si preman cuma mau naik bus gratis toh.. masih juga pake acting pura-pura nanya alamat segala.. atau sebenarnya si preman sudah sadar terhadap gerak-gerik kami dan penumpang lainnya yang sudah curiga sehingga dia membatalkan rencana awalnya? Entahlah.. tapi yang jelas penulis pun akhirnya bisa menghembuskan nafas lega.

Tiba di pusat kota Fuzhou pun sudah hampir jam 4 subuh. Mau mencari hotel pun rasanya tanggung. Kami pun singgah di sebuah rumah makan yang buka 24 jam. Setelah memesan sedikit makanan dan minuman sebagai formalitas agar bisa duduk sampai pagi di rumah makan tersebut, kami pun menunggu fajar menyingsing.. penantian hanya satu dua jam itu rasanya lamaaaa bangett.. kami pun tertidur sejenak di meja makan. Gadis manis yang berkulit agak gelap pelayan di rumah makan itu pun hanya tersenyum-senyum melihat kelakuan kami.

Belum juga cukup tidur, kami pun sudah harus bangun, dan mencari tahu bagaimana cara menuju Putian dari Fuzhou. Katanya ada kereta api cepat yang cuma setengah jam uda nyampe Putian, atau ada juga bus lokal yang 2-3 jam baru nyampe. Karena kami merasa sangat ngantuk dan ingin tidur, akhirnya memilih naik bus lokal, dengan berpikiran bisa memanfaatkan waktu beberapa jam buat tidur di bus. Penulis pun dengan keterbatasan kemampuan bahasa Mandarin, setengah mati mencari tempat penjualan tiket bus resmi. Eh pada akhirnya juga beli tiketnya di calo tiket (cuma lebih mahal beberapa yuan sih), ternyata naik bus lokal ini bayar karcisnya pas udah naik bus!!

Gila! Parahnya bus yang kami naiki itu ternyata bus kampung yang tempat duduknya kusam abis mungkin udah ga dicuci selama beberapa tahun. Bus kampung ini pun sering berhenti di tengah jalan, mencari penumpang tambahan.. ada beberapa penumpang yang membawa ayam bebek ke atas bus, yang ketika hewan-hewan tersebut berkotek membuat penulis tersenyum geli. Bahkan ada penumpang yang membawa terasi udang beku di tempat bagasi bus, yang karena panas oleh mesin bus, akhirnya meleleh dan menetes ke tas kain milik salah satu tante penulis. Tas dan pakaian-pakaian di dalamnya pun menjadi bau terasi udang.

Karena bus sering berhenti, perjalanan pun memakan waktu 3 jam lebih. Kami bingung ketika ditanya oleh si perempuan kenek bus mau berhenti dimana.. kami cuma diberitahu untuk mencari xxxx di kampung Tonkin di Putian, yang nama kampungnya ditulis dalam abjad Latin pula yang tentunya tidak bisa dibaca oleh si kenek. Lalu kami teringat bahwa di Putian, tentunya ada juga kuil Kaw Li Tong, tempat perkumpulan orang Henghwa. Kaw Li Tong apaan?? Si kenek bingung, tetapi setelah melihat tulisan Mandarin 九鲤洞, dia pun tahu.. oh.. Jiu Li Dong (pelafalan dalam bahasa Mandarin). Kami pun diberhentikan di depan sebuah gang dengan plakat  九鲤洞  seperti tampak di foto.

Secara harfiah, 九鲤洞 berarti Gua Sembilan Ikan. Pasti ada ceritanya kenapa Kuil ini bernama Gua Sembilan Ikan. Sayangnya penulis belum berhasil menemukan kisah di balik nama kuil ini…

Putian (莆田) adalah sebuah kota kecil yang sudah lumayan berkembang. Namun di beberapa lorong dan gang, masih tampak juga rumah-rumah yang belum disemen ataupun tidak dicat. Kota kecil ini beda sekali dan terlepas dari hingar bingar metropolitan seperti Beijing atau Shanghai. Di rumah-rumah penduduk pun masih banyak terlihat lampion merah yang bergelantungan. Setelah bertanya-tanya dan mencari-cari, kami pun tiba di Kaw Li Tong Putian, ini adalah Kuil Kaw Li Tong pertama di dunia! Akan tetapi menurut pendapat ayah penulis, Kaw Li Tong di Putian ini kalah megah dibandingkan Kaw Li Tong yang ada di Jakarta. Di Kaw Li Tong, kami pun bingung karena komunikasi ga nyambung dengan pengurus kuil. Setelah berusaha mati-matian dengan bahasa Mandarin yang terbatas dicampur bahasa Hokkian, akhirnya pengurus kuil punya kenalan dengan seseorang yang pernah tinggal di Indonesia. Jejaring sosial pun teraktifkan di satu kampung, yang akhirnya kami bisa bertemu dengan adik lelaki dari kakek buyut penulis. Adik lelaki dari kakek buyut penulis ini mungkin hanya sedikit lebih tua dibandingkan (alm.) kakek penulis. Entah penulis harus memanggil dengan sebutan apa lagi… Kami pun lalu makan siang bersama.

Setelah makan siang, kami mengungkapkan maksud kami ingin berziarah ke makam leluhur. Awalnya keluarga adik kakek buyut menawarkan kami untuk tinggal beberapa hari sembari mereka membersihkan dulu rumput ilalang yang menghalangi jalan menuju makam. Karena keterbatasan waktu, kami bersikukuh ingin hari itu juga mengunjungi makam. Kami pun dibawa melewati pekarangan rumah adik kakek buyut, melewati ladang dan selokan, rumput-rumput ilalang yang tingginya 2 meter lebih, akhirnya tiba di makam leluhur yang dikelilingi rumput ilalang, yang sepertinya sudah tidak diurus bertahun-tahun. Menurut penuturan mereka, ini adalah makam orangtua dari kakek buyut penulis (wow, berarti 4 generasi di atas penulis). Ternyata orang zaman dulu di Tiongkok memakamkan anggota keluarganya yang telah meninggal tidak begitu jauh dari rumah (jadi bukan di Taman Pemakaman Umum seperti sekarang ini, akibat populasi manusia yang semakin banyak) (mirip seperti di daerah pedesaan di Jepang juga yang makam keluarga ada di halaman rumah). Ziarah makam seperti ini mengingatkan bahwa suatu saat hidup kita semua juga akan berakhir.. semua hanya sementara seperti buih gelembung di permukaan air.. yang abadi hanyalah perubahan itu sendiri..

Setelah selesai ziarah, kami pun pamit untuk kembali ke Fuzhou melanjutkan perjalanan kami. Tiba di Fuzhou sudah malam hari, untungnya penulis berhasil menemukan hotel bintang empat dengan lokasi sangat strategis (dekat dengan stasiun Fuzhou) dan harga terjangkau (sekitar Rp. 600 ribu untuk 1 kamar 3 orang). Ini sudah termasuk sarapan buffet yang wah, dan fasilitas hotel terbaik yang pernah penulis dapatkan selama perjalanan di Tiongkok ini. Nah di hotel inilah terjadi kejadian “menegangkan” berikutnya (walaupun beda ma kejadian menegangkan pertama di dalam bus). Ketika menanyakan tentang cara menuju Wuyishan ke seorang petugas resepsionis hotel, penulis dikasih kupon yang katanya bisa buat sauna gratis (khusus buat yg tinggal di hotel ini). Wah mumpung ada gratisan nih, pikir penulis, apalagi setelah lelah seharian di Putian dan malam sebelumnya kurang tidur. Penulis pun menuju ke lantai tempat sauna tersebut. Baru saja keluar dari lift, penulis sudah disambut dua pelayan dengan keramahan yang terasa sangat janggal. Lah masa pelayanan untuk sauna (gratis lagi) bisa se-lebay ini?? Bukannya biasanya sauna atau jazucci di Indonesia cuma masuk sendiri dan ga ada pelayanan apa-apa dari staff hotel.. Sambil masih bengong, penulis pun diantar ke ruang tunggu dan diberikan kunci, handuk, dan sebagainya. Sambil menunggu, penulis melihat ada beberapa gadis berpakaian ketat dan seksi sedang berdiri di suatu sudut ruangan. Dan mengapa sepertinya pelanggan sauna ini rame sekali? Setelah beberapa saat penulis pun digiring berjalan melewati sebuah lorong, yang di sampingnya terdapat ruang-ruang buat sauna. Ketika melewati salah satu ruangan, penulis melihat ada seorang pria yang hanya mengenakan handuk putih dikenakan melilit pinggangnya, bersama dengan dua orang cewe di dalam ruangan sauna tersebut!!!  Apa maksudnya ini?! Jangan-jangan…!! Jantung menjadi berdebar-debar dan penulis pun segera bergegas keluar dari lorong tersebut. Beberapa staf dan petugas sauna mencoba menghalangi dan mencegah agar penulis tidak pergi. Bahkan nyonya pemilik sauna tersebut ikut mencegah penulis beranjak dari sana, penulis tetap ngotot dan cuma bilang, “不要,谢谢” (“Tidak, terima kasih”). Nyonya bos sauna tersebut akhirnya berkeluh “Aiyoooo..” ketika pintu lift menutup, mengantarkan penulis kembali ke lantai atas tempat kamar hotel. Fiiuuuhh.. gilee.. nyaris saja..

Begitulah kejadian “menegangkan” untuk kedua kalinya di Fuzhou. Bahkan lima menit setelah penulis kabur dari tempat sauna, jantung penulis masih berdebar-debar.. memikirkan apa yang terjadi seandainya penulis tidak ngotot untuk beranjak keluar..