Burung Kebahagiaan

February 2, 2009

(Cerita Rakyat Tibet)

bird of happinessDi suatu masa sangat lampau, ada sebuah wilayah sangat miskin di Tibet yang tidak ada sungai maupun lahan subur, tiada kehangatan maupun bunga segar, juga tiada pohon maupun rumput. Orang-orang yang tinggal di sana menderita kelaparan dan kedinginan sepanjang tahun dan tidak mengenal kebahagiaan itu seperti apa. Walau demikian, mereka tetap percaya bahwa kebahagiaan pastilah ada di suatu tempat di dunia ini.

Para sesepuh desa selalu mengatakan bahwa kebahagiaan itu adalah seekor burung yang sangat cantik yang tinggal di sebuah gunung salju jauh, jauh di sebelah timur. Kemanapun burung itu terbang, kebahagiaan akan terus mengikutinya. Tiap tahun, orang-orang pergi mencari burung ini, tapi tak satupun yang kembali. Katanya, Burung Kebahagiaan dijaga oleh tiga monster tua yang bisa membunuh seseorang hanya dengan menghembuskan nafas melalui sela-sela jenggot mereka.

Di suatu tahun, seorang pemuda brilian bernama Wangjia dikirim untuk menemukan Burung Kebahagiaan. Saat keberangkatannya, gadis-gadis di desa menawarkannya minuman barley; dan ibunya, sesuai adat Tibet, menaburkan biji barley di kepalanya, mengharapkan ia akan melakukan perjalanan yang lancar.

Wangjia berjalan ke arah timur selama berhari-hari hingga ia melihat sebuah gunung raksasa terselimuti salju yang berkilau. Tepat saat itu juga, seekor monster tua dengan jenggot hitam muncul.

“Siapa disana?” ia berteriak parau. “Berani sekali kau datang ke sini! Apa yang kau cari?”

“Namaku Wangjia, dan aku ke sini mencari Burung Kebahagiaan.”

“Ha…ha!” monster tersebut tertawa. “Bagaimana bisa anak ingusan seperti kau, yang tidak lebih besar dari sebutir telur, berani menginjakkan kaki di sini?! Kalau kau ingin menemukan Burung Kebahagiaan, pertama sekali kau harus membunuh ibunya Luo Sang! Kalau tidak, kau akan dihukum. Aku bahkan tidak perlu keluar tenaga untuk membunuh makhluk kecil sepertimu. Akan kubuat kau mesti berjalan 900 mil melewati lereng cadas dan tamatlah riwayatmu!”

Wangjia menjawab, “Aku menyayangi ibuku sendiri, dan aku tidak akan pernah membunuh ibu orang lain. Lakukanlah kehendakmu!”

Monster tua tersebut marah besar. Ia mulai menghembuskan nafas melalui sela-sela jenggotnya, dan dalam sekejap mata, jalan yang mulus berubah menjadi lereng cadas yang sangat luas. Setiap cadasnya setajam pisau.

Setelah seratus mil pertama, sol sepatu Wangjia terkoyak habis; setelah seratus mil kedua, kakinya teriris-iris dan setelah tiga ratus mil, tangannya tersobek-sobek.

“Ini sangat berat!” ia bergumam dalam hati. “Apakah aku akan berhasil? Apakah sebaiknya aku kembali saja? Tidak, ga akan pernah!” Ia tidak sanggup kembali. Ia tau bahwa orang-orang di desanya sedang menunggunya membawa pulang kebahagiaan.

Wangjia terbujur ke tanah dan mulai merangkak maju. Pakaiannya sobek, lutut dan bahunya juga terkoyak-koyak. Akhirnya ia mencapai ujung perjalanannya, dan di sana ia ketemu monster tua lainnya, dengan jenggotnya yang berwarna coklat dan suara seperti angin yang bersiul, sedang menunggunya.

“Kalau kau ingin melihat burung kebahagiaan,” si monster melolong, “kau harus meracuni si tua Si Lang dulu. Kalau tidak, akan kubikin kau mati kelaparan!”

Dalam tatapan datar, Wangjia menjawab, “Terserah kau ingin berteriak apa! Tapi aku sayang kakekku sendiri, dan aku tidak akan pernah membunuh kakek orang lain!”

Dalam kemurkaan, si monster mendesah melalui sela-sela jenggotnya dan tas makanan Wangjia melayang ke angkasa. Di hadapannya, gunung biru dan sungai hijau berubah menjadi padang pasir tanpa satu serpih makananpun yang bisa ditemukan.

Wangjia melanjutkan perjalanan. Setelah seratus mil pertama, perutnya mulai keroncongan dan merengek-rengek kelaparan; setelah dua ratus mil, ia sudah sedemikian lapar hingga kepalanya berkunang-kunang dan tampak bintang menari-nari; di mil tiga ratus, ia sudah sangat sangat lapar hingga lambungnya terasa seperti diiris-iris pisau. Siapapun yang pernah kelaparan pasti memahami penderitaannya. Tiba di akhir perjalanan, ia sudah seperti tulang terbungkus kulit.

Di sana, lagi-lagi, berdiri seekor monster tua lainnya berjanggut putih.

“Orang tolol mana yang berani ke sini?” suaranya menggelegar.

“Namaku Wangjia, dan aku ke sini untuk mencari Burung Kebahagiaan!”

“Kalau kau mau melihat Burung Kebahagiaan, bawalah bola mata Baima kesini! Kalau kau berani bilang tidak, akan kucungkil bola matamu keluar!”

Wangjia menundukkan kepalanya dan berpikir sejenak, kemudian menjawab, “Kau pasti sedang bermimpi! Tak seorangpun berhak merusak mata indah seorang gadis! Aku tidak akan mencungkil mata Baima!”

Monster tersebut memekik dalam angkara murka. Ia mendesah melalui jenggotnya yang panjang, dan bola mata Wangjia terlontar keluar dan ia menjadi buta.

“Ini pastilah rintangan terakhir,” ia berpikir. “Aku harus terus berjalan ke arah matahari terbit. Pasti di sanalah tempat tinggal Burung Kebahagiaan.”

Sambil meraba-raba tanah dengan tangannya, Wangjia merangkak sejauh 900 mil lagi. Ia memanjat dengan susah payah hingga ke puncak gunung berlapis salju, dan ia mendengar suara dari Burung Kebahagiaan.

“Anakku sayang, apakah engkau datang kesini untuk mencariku?”

Dalam gelora rasa haru, Wangjia menjawab, “Ya! Rakyat rindu terhadapmu siang dan malam. Mohon kembalilah bersamaku.”

Dengan sayapnya yang halus, Burung Kebahagiaan menyentuh Wangjia dengan lembut dan bernyanyi untuknya. Bola matanya terbang masuk ke rongganya kembali dan kini ia bahkan bisa melihat dengan lebih jernih. Semua lukanya tersembuhkan dan bahkan ia menjadi jauh lebih kuat dibanding sebelumnya. Burung Kebahagiaan memberinya makanan dan kemudian membawanya pulang ke desa. Mereka mendarat di atas puncak gunung.

“Apa yang kamu inginkan?” Burung Kebahagiaan bertanya.

Wangjia menjawab, “Kami menginginkan kehangatan dan kebahagiaan, hutan dan bunga, ladang dan sungai-sungai.”

Berdiri di atas puncak gunung, Burung Kebahagiaan memekik tiga kali. Saat pekikan pertama, kilau keemasan mentari terbaur dengan arakan awan-awan dan sepoi angin hangat mengalir dari angkasa. Pada pekikan kedua, bentangan demi bentangan hutan muncul menyelimuti gunung-gunung, buah peach hutan dan aneka kembang gunung mekar bersama, paduan suara kicauan burung pun saling bersahutan. Pekikan ketiga, sungai-sungai dan ladang hijau pun tampak terhampar dan kelinci putih meloncat dengan gembira di atas rerumputan.

Sejak saat itu, penduduk di wilayah miskin tersebut tidak pernah menderita kesengsaraan lagi.

(diterjemahkan dan diadaptasi oleh: Willy Yanto Wijaya)

Dari buku “Favourite Folktales of China”, Penerbit Graham Brash, Singapore, 1990.

Catatan penerjemah: Barley adalah sejenis gandum yang bisa diolah menjadi bir maupun minuman lainnya