Pesona Indochina: Catatan Perjalanan melewati Vietnam, Kamboja, Thailand, Laos

(oleh: Willy Yanto Wijaya)

Awal hingga pertengahan September yang lalu, penulis berkesempatan mengunjungi wilayah Indochina (Asia Tenggara Kontinental) selama hampir 2 minggu. Perjalanan darat yang melelahkan, lintas negara, mendapatkan berbagai pengalaman seru dan berharga, mengamati kehidupan sosial masyarakat setempat.. rasa-rasanya panjang tulisan bisa cukup untuk menerbitkan 1 buku, he..he. Akan tetapi, dalam tulisan kali ini, penulis hanya menggambarkan kesan-kesan pribadi secara umum terhadap tiap negara yang dikunjungi, ditambah pengalaman-pengalaman menarik selama perjalanan.

Rute perjalanan adalah sebagai berikut: Ho Chi Minh -> Phnom Penh -> Siem Reap (Angkor Wat) -> Bangkok -> Vientiene -> Luang Prabang -> Hanoi.

Semuanya menggunakan jalur darat, kebanyakan dengan bus atau mini-van, kecuali dari Bangkok menuju perbatasan Laos menggunakan kereta api malam. Perjalanan darat ini ada yang memakan waktu hingga 24 jam lebih, seperti dari Luang Prabang (Laos) ke Hanoi (Vietnam) akibat melewati lika-liku jalan pegunungan. Anda bisa bayangkan lelah dan pegal-pegalnya, tapi nilai pembelajaran dan pengalaman yang didapat tidaklah sia-sia.

Tiba di Bandara Tan Son Nhat, Ho Chi Minh City, prosedur imigrasi Vietnam ternyata sangat simpel (tidak perlu mengisi kartu kedatangan). Dari bandara menuju kota sebenarnya ada bus umum (bus terakhir cuma sampai jam 6 sore), karena kami tiba sudah malam, akhirnya menggunakan taksi menuju ke pusat kota. Sepanjang jalan, terlihat banyak sekali sepeda motor berseliweran dimana-mana. Kami menginap di Hoang Hai Long Hotel, sebuah hotel bintang tiga, tidak jauh dari Ben Thanh Market. Hotel di Vietnam bisa dibilang cukup murah, sekitar Rp.300-400 ribu, Anda sudah bisa mendapatkan hotel bintang tiga yang bagus dengan twin bed + sarapan pagi buffet dan wifi. Malam itu juga kami langsung melihat-lihat Ben Thanh Market sekaligus pergi makan malam. Tiba di sebuah rumah makan seafood pinggir jalan, wuah, harga menu-menunya mahal sekali (dengar-dengar cerita, menu versi Bahasa Inggris memang lebih mahal dibanding menu Bahasa Vietnam). Masa udang galah ukuran kecil (cuma sedikit lebih besar dari jari jempol) satu ekor harganya Rp. 60 ribu! Benar-benar pemerasan terhadap wisatawan!

Keesokan harinya, kami pun keluar ingin berkeliling melihat kota. Setelah tawar-menawar dengan dua orang tukang becak (becak di Ho Chi Minh berukuran kecil, cuma muat 1 orang) dan mencapai kesepakatan harga, kami pun dibawa melihat landscape kota seperti Katedral Notre-Dame Saigon, Post-office, City Hall, Opera House, dsb. Sesuai kesepakatan, mestinya kami dibawa berkeliling hingga 1 jam, akan tetapi baru 40 menit saja kami sudah diturunkan. Karena tidak ingin mencari ribut, kami pun menyudahi saja masalah ini. Sebenarnya landscape di kota Ho Chi Minh terletak tidak begitu jauh satu sama lain, sehingga bisa ditempuh dengan jalan kaki. Kami kemudian mencoba menaiki bus umum secara random (tidak tahu tujuan kemana). Bus umum di Vietnam sangat murah, cuma sekitar Rp. 3000,- an sekali jalan. Bus yang kami naiki secara acak, yang pertama ternyata menuju ke Chinatown, dan yang kedua menyelusuri Sungai Saigon hingga ke sebuah terminal pinggiran kota. Anda tinggal menaiki bus yang bernomor sama untuk kembali ke tempat semula.  =D

Kesan secara umum, lalu lintas kota Ho Chi Minh cukup semrawut dengan berseliwerannya sepeda motor, pejalan kaki pun sembarang menyebrang sama seperti di Indonesia saja. Pedagang asongan yang mencari nafkah dari wisatawan juga banyak yang “ngotot” terus-menerus memaksakan dagangannya. Juga seperti cerita di atas, tukang becak yang tidak jujur (tidak memenuhi janji) dan harga menu khusus turis yang lebih mahal. Dibanding orang Kamboja, Thailand, ataupun Laos, secara umum orang Vietnam lebih kasar (meskipun tentunya tidak semua seperti itu). Akan tetapi, di balik pengalaman-pengalaman negatif, ada hal yang cukup mengesankan juga dari Vietnam, yaitu lumayan banyak cewe yang cakep. Dari segi perawakan, orang Vietnam terlihat cukup mirip dengan orang China. Dan memang banyak juga aspek kehidupan orang Vietnam yang dipengaruhi oleh kebudayaan Tiongkok, misalkan saja baju Áo dài yang indah menawan. Dari segi makanan, juga cukup oke, memenuhi selera lidah penulis, misalkan bumbu seafood (yang mahal di cerita sebelumnya) rasanya juga lumayan enak.

Di daerah Pham Ngu Lao (basis backpacker di Ho Chi Minh), kami pun membeli tiket bus menuju ke Phnom Penh (Kamboja). Perjalanan memakan waktu sekitar 6 jam, melewati sawah-sawah dan ladang pertanian (ada juga satu empang yang dipenuhi bebek-bebek putih). Tidak ada kendala yang berarti di imigrasi perbatasan (tidak butuh visa bagi pemegang paspor Indonesia), ketika melewati Moc Bai (Vietnam) maupun Bavet (Kamboja). Hal yang menarik adalah ketika melewati perbatasan Kamboja (Bavet), di kiri kanan jalan terlihat banyak sekali kasino (tempat perjudian). Aneh sekali.. menurut dugaan penulis, pastilah di Vietnam kasino dilarang beroperasi (ilegal), sehingga banyak orang Vietnam yang pergi ke perbatasan Kamboja untuk berjudi.

Setelah melewati perbatasan Kamboja dan hampir mencapai Phnom Penh, bus akan naik ke atas feri menyeberangi sungai (mungkin Sungai Mekong). Banyak pedagang asongan yang berkerumun di depan pintu bus, ingin masuk ke dalam bus tetapi tidak diizinkan oleh petugas bus (mungkin atas alasan keamanan). Yang diizinkan naik oleh petugas bus adalah seorang remaja yang memiliki keterbatasan fisik (kehilangan kedua lengan) yang meminta sedekah dari penumpang bus. Pada saat itu kami belum memiliki mata uang Kamboja (Riel), tetapi ketika kami memberikan uang kertas Vietnam (Dong), ternyata si remaja mau menerima. Akan tetapi anehnya ketika ada seorang bule yang memberikan koin kepada si remaja tersebut, ia tidak mau menerimanya.. sepertinya itu adalah koin Vietnam yang penulis dengar dari rumor emang tidak laku ditukar (money exchanger pada tidak mau terima). Tidak betah di dalam bus, penulis pun mencoba keluar dari bus.. seorang bule yang keluar dari bus langsung dikerubungi oleh para pedagang asongan.. penulis pun menyingkir ke sisi feri yang agak sepi. Melihat kondisi pedagang asongan (banyak yang masih anak-anak dan remaja), hati pun menjadi trenyuh. Dengan pakaian yang compang-camping dan tubuh yang kusam, mereka mencoba mengais rezeki, yang tidaklah seberapa.. Penulis menghampiri seorang gadis penjual lemang (seperti ketan yang dibakar dalam bambu) yang sedang melamun. Penasaran pengen mengetahui bagaimana rasa lemang Kamboja, akhirnya kami membeli, dan ternyata bisa membayar pakai mata uang Vietnam (Dong). Yang membuat penulis kaget sekaligus kagum, adalah gadis miskin ini berbahasa Inggris cukup lancar! Setelah kami membeli lemang, kami pun langsung dikerubungi anak-anak kecil penjual telur rebus. Anak-anak kecil ini cuma bisa berbahasa Khmer, akhirnya dibantu oleh si gadis penjual lemang, karena rasa iba, kami pun membeli beberapa telur rebus. Telur rebus yang sangat simpel, cuma ditemani oleh sebungkus kecil garam.. tidak ketinggalan pula, ada beberapa anak kecil yang mengemis.. himpitan kehidupan yang berat membuat banyak masyarakat Kamboja yang masih hidup di bawah garis kemiskinan..

Hanya dalam waktu yang singkat, feri telah menyebrang ke tepi sebelah sungai dan melanjutkan perjalanan ke Phnom Penh. Sepanjang jalan di Kamboja, sudah terlihat bahwa infrastruktur maupun masyarakat secara rata-rata masih lebih miskin ketimbang di Vietnam. Di sepanjang jalan terlihat sawah-sawah dan kerbau, beberapa kerbau terlihat agak kurus. Dari segi perawakan, orang Kamboja agak-agak mirip orang Jawa, dengan kulit yang agak gelap (sawo matang). Hal lainnya yang menarik di Kamboja adalah hampir semua orang mau menerima USD (Dolar Amerika), baik itu pedagang kaki lima sekalipun! Tentunya mata uang Kamboja (Riel) juga laku. Tiba di Phnom Penh pun hari sudah senja, setelah mencari penginapan, kami pun jalan keluar mencari makan malam. Ternyata di sekitar hotel kami, banyak pub dan bar yang tentunya sesuai selera orang bule, akan tetapi kami lebih prefer jajanan jalan ala Kamboja. Setelah melewati pasar tradisional yang becek (mirip banget seperti di Indonesia) di suatu sudut kota Phnom Penh, kami mencoba ikan panggang pinggir jalan. Ikan hanya dilumuri garam kasar di bagian luar, tapi menariknya mereka memasukkan semacam sayur pewangi ke dalam ikan ketika dipanggang. Dengan sayur lalap dan tomat hijau, ditambah Saus Mekong plus rasa lapar, dalam sekejap hidangan pun habis disikat.

Ketika kami sedang makan, ada seorang ibu tua yang meminta-minta. Ketika kami memberikan sedekah, tiba-tiba ibu tua itu beranjali (memberikan hormat dengan merangkapkan kedua telapak tangannya di depan dada) kepada kami. Ketika penulis membalas beranjali, si tukang ikan bakar pun tersenyum melihat kami. Tukang ikan bakar ini pun sepertinya cukup jujur, ketika memberitahukan kami harga ikan adalah 4 USD + 1000 Riel (1 USD sekitar 4000 Riel). Bayangkan aja kami kan wisatawan asing, kalaupun dia bulatkan saja menjadi misal 5 USD juga kami ga akan tau apa-apa. Tapi nilai kejujuran inilah yang priceless (tak ternilai harganya), terlebih di dunia yang sudah semakin tergila oleh materialisme.

Pagi hari ketika kami sarapan kwetiaw kuah, di jalanan terlihat beberapa bhikkhu (pemuka agama Buddha) yang sedang pindapatta (menerima derma dari umat). Terlihat pula di depan sebuah rumah, seorang ibu yang mengajari anaknya untuk memberikan derma. Di Phnom Penh, terlihat banyak juga ruko yang bi-lingual (menggunakan Bahasa Khmer dan Bahasa Mandarin). Sepertinya masyarakat Tionghoa di Kamboja hidup rukun dengan masyarakat Khmer yang mayoritas. Di pinggiran Phnom Penh, sekitaran Kampong Cham penulis juga amati ada banyak masjid dan komunitas Muslim yang cukup signifikan.

Setelah sarapan pagi, kami berangkat ke Killing Field (Choeung Ek Genocidal Center) yang ada di pinggiran kota (sekitar 30 menitan menggunakan tuk-tuk) melewati jalanan berdebu. Genocidal Center ini adalah memorial bagi para korban pembantaian semasa rezim Pol Pot. Mendengarkan narasi bagaimana korban diperlakukan dan dibantai akan membuat hati menjadi trenyuh. Pembantaian tidak memandang bulu, banyak korban wanita dan anak-anak juga. Korban ada yang ditelanjangi, dilempar ke dalam lubang besar, disiram dengan cairan kimia, dan dikubur hidup-hidup. Loudspeaker yang digantung pun diputar suaranya kencang-kencang, menutupi suara jeritan dan ratap para korban. Setelah cabut dari Killing Field, kami pun pergi menjernihkan pikiran di Wat Ounalom, sebuah kuil kecil di kota Phnom Penh. Setelah itu kami ke Royal Palace, akan tetapi hujan deras membuat kami tidak dapat meng-eksplore semua bagian Royal Palace. Parahnya, sore hari itu juga kami harus naik bus buat berangkat ke Siem Reap (Angkor Wat). Hujan deras membuat sebagian kota Phnom Penh tergenang air, bahkan kami harus menerjang genangan banjir ketika naik ke tuk-tuk sewaan kami. Karena tidak bawa payung maupun jas hujan, kami pun sudah basah kuyup. Di tengah jalan, mesin tuk-tuk tiba-tiba berhenti akibat genangan air yang terlalu tinggi. “Celaka nih!” pikir kami. Untung mesin hidup kembali, dan kami harus berterima kasih kepada Dee, sang tukang tuk-tuk yang sudah mati-matian berjuang menerobos hujan deras dan genangan banjir, mencari rute alternatif ke terminal bus, dan tiba tepat waktu sebelum bus berangkat.

Perjalanan dari Phnom Penh ke kota Siem Reap memakan waktu sekitar 6 jam-an. Di sepanjang perjalanan, terlihat banyak wilayah yang tergenang air. Awalnya penulis kira itu adalah danau atau rawa-rawa yang sangat luas, tapi setelah memperhatikan kadang ada pepohonan (ga mungkin ada pohon di tengah danau) dan bahkan ada jaringan tiang listrik !!  wah sudah jelas ini adalah daratan yang tergenang air ! Luasnya daratan yang tergenang air di Kamboja di musim penghujan luar biasa mencengangkan! Memang sebagian besar wilayah Kamboja adalah dataran rendah dan rawa-rawa. Tidak heran ketika sungai meluap akan membenamkan lahan yang begitu luas. Sempat terbersit dalam pikiran penulis.. mungkin inilah juga salah satu faktor yang menyebabkan kemiskinan di Kamboja.. ketika lahan sawah dan pertanian tidak bisa termanfaatkan tatkala luapan banjir melanda.. mungkin juga infrastruktur bendungan belum terkelola dengan baik.. Akan tetapi, melihat rumah-rumah penduduk yang seperti rumah panggung dan beberapa warga yang menaiki sampan menyusuri luapan banjir, sepertinya masyarakat disana sudah terbiasa dengan banjir musiman seperti ini..

Tiba di Siem Reap sudah larut malam, dan keesokan paginya kami menyewa tuk-tuk seharian berkeliling Angkor Wat, Bayon, Ta Prohm, dan kompleks-kompleks candi sekitarnya. Harus diakui kehebatannya bahkan peradaban ratusan tahun yang lalu saja sudah dapat menghasilkan masterpiece arsitektur yang luar biasa!

Setelah puas berkeliling kompleks candi hingga sore hari, malam harinya (dini hari) kami langsung berangkat menuju ke Bangkok. Karena jumlah penumpang yang sedikit, akhirnya kami pun dibawa dengan mini-van hingga ke Poipet (perbatasan Kamboja), kemudian dari Aranyaprathet (perbatasan Thailand) kami harus ganti ke mini-van yang lain. Perjalanan malam yang melelahkan karena hampir tidak bisa tidur di mini-van.

Tiba di Bangkok, kami pun mencari Khao San Road, lokasi backpacker yang terkenal di kota ini. Kami hanya nginap semalam di Bangkok, dan cuma sempat mengunjungi beberapa tempat seperti Chinatown, Wat Traimit, Hua Lam Phong, Grand Palace (cuma masuk sedikit lewat gerbang). Sewaktu mengunjungi Wat Traimit (Patung Buddha Emas), penulis tidak menyadari kalau patung Buddha itu benar-benar terbuat dari emas padat, yang berat totalnya hampir 6 ton!! Dengan harga emas 18 karat saat ini saja, harga emas pada patung ini sudah melebihi Rp. 2 Trilyun!! (ini belum termasuk nilai sejarah patung ini yang sudah berumur 700 tahun).

Kemacetan di kota Bangkok sangatlah parah. Di sebuah bus umum, ketika penulis sedang duduk enak-enak, naiklah seorang bhikkhu. Bhikkhu ini tiba-tiba seperti “mengusir”, menyuruh penulis pindah ke tempat duduk lain. Setelah si bhikkhu duduk, ia kemudian menyuruh penulis duduk di sampingnya. Mungkin norma di Thailand adalah biasanya penumpang memberikan tempat duduk yang paling dekat dengan pintu keluar kepada bhikkhu? Entahlah. Lalu setelah Ia mengetahui penulis adalah wisatawan, mulailah si bhikkhu cerita soal landmark Bangkok dan sebagainya.. bahkan sampai memprediksi bahwa penulis akan menikah dua tahun lagi, ha..ha.. bisa aja nih si bhikkhu bercanda, bahkan calon pendamping hidup saja belum ada.. gimana caranya bisa seperti itu?  =D. Mestinya waktu itu kami meminta si bhikkhu menemani kami masuk ke Grand Palace (karena tiket masuk buat orang Thailand gratis).

Dari stasiun kereta api Hua Lam Phong, kami pun berangkat menuju Nongkhai (kota perbatasan dekat Laos). Perjalanan memakan waktu 12 jam-an (berangkat malam dan tiba esok pagi). Di dalam kereta api, ada tempat tidurnya.. harga tiket juga cukup murah, cuma sekitar Rp. 200-300 ribu. Dari Nongkhai sebenarnya ada 2 opsi, naik kereta api lokal ke Thanaleng (Laos) atau naik bus via Friendship Bridge (Laos). Akhirnya kami naik bus dan tiba di Vientiene sudah tengah hari.

Kami juga hanya menginap satu malam di Vientiane. Meskipun ibukota negara, dibandingkan kota Bangkok, Ho Chi Minh, atau bahkan Phnom Penh, kota Vientiene relatif lebih lenggang. Bahkan satu kota Vientiene bisa ditelusuri dengan hanya berjalan kaki. Akan tetapi menurut penulis, kota ini adalah tempat yang sangat bagus untuk beristirahat, dan juga suasananya lebih “adem”. Salah satu alasan adalah karena secara umum di Laos, jarang ada kerumunan pedagang asongan yang memaksa turis (dari pengalaman penulis yang hampir frustasi dikerumuni pedagang asongan yang tetap keukeuh di kompleks Candi Angkor Wat – Kamboja, ataupun ketika di Ho Chi Minh). Sore hari itu, kami pun berkeliling ke kuil-kuil kecil dan naik bus umum sembarangan.

Keesokan paginya, dari Vientiene kami pun berangkat menuju Luang Prabang, salah satu UNESCO site. Perjalanan memakan waktu 12 jam lebih, gara-gara mobil mini-van berhenti di Vang Vieng. Akan tetapi, keindahan pemandangan di sepanjang jalan luar biasa indahnya.. tak terlukiskan dengan kata-kata. Bentang alam negara Laos memang adalah jejeran pegunungan, dan kami melewati jalan-jalan gunung yang meliuk-liuk. Dari pengamatan penulis, belum ada terowongan yang menembus gunung di sepanjang jalan dari Vientiene ke Luang Prabang.

Ketika senja menjelang gelap, ada seorang cewe bule di mini-van kami yang ingin pipis. Karena jalan gunung yang di sekitarnya sebagian besar adalah hutan dan sebagian kecil ladang penduduk, ia pun harus menunggu belasan menit, hingga akhirnya supir menemukan toilet penduduk. Kami pun nebeng ke toilet, tentunya ke toilet alam karena lebih praktis dan tidak bau, he..he. Nah, beberapa meter dari toilet ada seperti warung kecil milik penduduk lokal yang hanya diterangi oleh sebuah lampu remang-remang. Hanya ada satu warung kecil ini, dan ratusan meter di sekitar tidak terlihat ada pemukiman penduduk sama sekali!! Terlihat seorang ibu dan anaknya yang masih berusia sekitar 7 tahun. Mereka seharian berjualan sepertinya tidak ada seorang pun yang membeli. Karena kasihan, kami pun membeli sebungkus snack dan sebungkus jahe hitam bubuk (katanya bisa dibikin teh). Dipikir-pikir, kalau si cewe bule tidak minta mini-van berhenti sebentar, tentunya kami pun tidak akan bisa membeli dari warung kecil tersebut. Dipikir-pikir, bagaimana penduduk bisa survive dalam kemiskinan seperti ini? Sepertinya mereka hidup benar-benar tergantung alam.. kayu buat rumah ambil di hutan, ladang kecil bercocok tanam, mungkin sebagian buah sayur juga dari hutan. Sepanjang perjalanan, kadang kami melihat bocah-bocah desa yang telanjang mandi dari mata air yang memancur dari liang gunung. Rumah-rumah juga masih banyak yang berupa gubuk yang beberapa diantaranya, menurut ayah penulis, bahkan kondisinya lebih parah dibandingkan kandang ayam milik mendiang kakek nenek penulis di kampung. Akan tetapi jika dipikir secara mendalam, toh miskin bukan berarti mereka lebih tidak bahagia dibandingkan kita yang lebih berkecukupan. Dan malah mungkin mereka lebih bahagia.. tidak perlu terlalu banyak mikir dan mengejar ini itu, asal cukup makan dan melewati hari-hari dengan keluarga yang dicintai..

Ketika mendekati Luang Prabang, malam pun menjadi semakin gelap pekat. Sisi gunung adalah rimba lebat. Tidak kebayang gimana kalau mobil kami mogok di tengah jalan. Untunglah kami tiba di Luang Prabang dengan lancar, dan malam pun sudah sangat larut. Setelah mencari hotel yang sesuai budget, akhirnya kami pun bisa merenggangkan badan sejenak.

Sebenarnya setiap pagi subuh, ada tradisi pindapatta di Luang Prabang. Sayangnya karena kelelahan, kami pun tidak bisa bangun pagi. Siang harinya, kami pun menyewa tuk-tuk untuk berkeliling melihat Vat Sen, Vat Xieng Thong, pertemuan Khan River dan Mekong River. Ada kejadian menarik di Vat Xieng Thong, sebuah kuil yang dibangun sekitar 500 tahun yang lalu. Ketika ayah penulis mengambil ciamsi (bilah bambu/ kayu peramalan nasib), sayangnya di kertas penjelasan cuma ada dalam Bahasa Laos. Setelah mencoba mencari orang lokal akhirnya ketemu ada tukang perahu yang cukup fasih berbahasa Inggris. Katanya ramalannya bagus, setiap berkunjung jalan-jalan orang akan senang bersua, masa depan sukses, dsb dsb (yang menurut penulis cukup standard), tapi ramalan terakhirnya yang cukup mengejutkan. Si tukang perahu bilang ke penulis bahwa menurut ramalan, anak pertama adalah laki-laki. Si tukang perahu tentunya tidak tahu bahwa yang mengambil ciamsi itu bukanlah penulis, melainkan ayah penulis. Dan ramalan bahwa anak pertama adalah laki-laki itu memang tepat! Apakah cuma kebetulan saja? Entahlah.. probabilitas benar/ salah adalah 50:50, tapi saat itu ramalannya adalah benar.

Di halaman Vat Xieng Thong, kami juga melihat ada seorang gadis yang menjajakan kain tradisional Laos. Corak sulamannya bagus sekali, si gadis juga lumayan manis  =). Kata si gadis penjual kain-kain ini adalah hand-made, disulam pake tangan, dia sendiri yang menyulamnya selama 3 bulan. Dari harga awal sekitar Rp. 800 ribu, akhirnya kami tawar dan deal seharga Rp. 200 ribuan. Awalnya kami masih ragu apakah benar sulaman kain ini pakai tangan.. ketika kami kembali ke hotel dan mencoba nanya pendapat si resepsionis hotel, ia mengiyakan bahwa memang kain yang kami beli adalah sulaman tangan.. karena di bagian belakang kain terlihat sisa-sisa benang yang terlihat diputuskan secara irregular (tidak teratur), jadi ga mungkin pakai mesin.. katanya sulaman kainnya bagus sekali, pasti butuh waktu sebulan lebih untuk menyulamnya.. Wah kalau dipikir-pikir, harga yang kami bayarkan tidaklah begitu mahal, apalagi kalau mengingat upaya keras yang harus dilakukan oleh si gadis penyulam selama itu..

Dari Luang Prabang, kami pun melanjutkan perjalanan ke Hanoi (Vietnam) menggunakan bus. Ini adalah perjalanan panjang lebih dari 24 jam (berangkat jam 6 sore tiba keesokan malamnya jam 10 malam). Bus yang kami naiki adalah sleeper bus, jadi kursi bisa diturunkan sangat rendah hingga menyerupai tempat tidur. Ada berbagai kejadian aneh dan menarik selama perjalanan panjang ini. Mulai dari kami ketemu seorang pelancong dari Indonesia juga, yang orangnya agak nerd, di dalam bus tiba-tiba aja mengeluarkan kameranya dan menjepret foto secara beruntun dengan flash silau yang bertubi-tubi, dengan objek foto….. tiga cewe Jepang yang duduk di belakang kami. (-_-)“ nih bikin malu orang Indonesia aja… Terus ada seorang penumpang bus (entah orang Laos, Vietnam, atau orang mana), yang tiba-tiba mengambil botol kosong yang ada di depan penulis; ketika penulis menyadari perbuatannya dan melihatnya, ia cuma cengengesan. Awalnya penulis mengira dia mau menuang air dari galon yang ada di depan bus ke botol kosong tersebut. Setelah agak lama, dan penulis secara diam-diam mengamati gerak-geriknya yang aneh (menyusupkan botol di bawah selimut ke arah bawah perut), ternyata tuh orang kencing ke dalam botol kosong!  (-_-)“ gelo dah. Kemudian di perbatasan Namkan (Nam Can) (perbatasan Laos – Vietnam), ada sekelompok orang yang membawa kerbau melewati perbatasan, dan ada satu lagi hal aneh yaitu beberapa orang yang sepertinya orang Vietnam yang membayarkan duit kepada petugas Imigrasi Vietnam (sedangkan kami tidak membayar apapun kepada imigrasi), ternyata.. mereka menyelundupkan semacam kayu harum di dalam bus!! Mungkin kayu ini ditebang di hutan di Laos, dan kemudian bisa dijual dengan harga tinggi di Hanoi. Pemandangan dari Laos ke Vietnam ini juga bagus, dengan gunung-gunung dan sebuah sungai yang mengalir hingga ke utara Vietnam. Akhirnya kami pun meninggalkan Laos (yang dulu bernama Lan Xang (Million Elephants) Kingdom – walaupun populasi gajah di Laos katanya sudah menurun drastis), dan kembali masuk ke negara Vietnam (kali ini di bagian utara). Perjalanan panjang menggunakan bus Vietnam ini, yang kadang diselingi oleh supir yang merokok di dalam bus, dan juga suka memencet suara klakson, akhirnya berakhir juga ketika bus tiba di Hanoi.

Tiba di Hanoi sudah jam 10 malam. Kami langsung dikerubungi supir taksi yang menawarkan jasa mereka. Karena penulis pernah baca dari blog bahwa banyak yang tertipu oleh argo taksi yang jalannya lebih kencang dari jam digital, apalagi karena kami tidak tahu medan (ada kemungkinan supir curang yang membawa jalan-jalan keliling Hanoi dulu), kami pun menggunakan common sense kami dan membuat kesepakatan harga. Kompetisi perhotelan di kota Hanoi sangatlah ketat, jadi Anda bisa mendapatkan hotel bintang 3 dengan sarapan buffet hanya dengan harga sekitar Rp. 300 ribu.

Lagi-lagi karena kelelahan, kami pun bangun cukup siang.. dan paket tur yang ke Halong Bay semua sudah berangkat. Karena ayah penulis ngotot tetap pengen ke Halong Bay, akhirnya kami pun mencoba mencari bus umum yang menuju kesana (walaupun menurut kalkulasi penulis, ga akan keburu lagi naik kapal sebab sampai disana pasti sudah sore hari). Dari Hanoi ada semacam bus mini menuju ke arah Halong Bay, tiket resmi (satu arah) seharga 90 ribu dong (sekitar Rp. 40 ribu). Akan tetapi setelah penulis kalkulasi, sebenarnya lebih bagus ikut tur (cari saja yang paket 1 hari uda termasuk transport pp, makan siang, naik kapal 4 jam; yang seharga Rp. 200 ribuan), karena jalan sendiri pun total-total habisnya ga jauh beda (belum lagi ada resiko kita diperas karena turis).

Dari Hanoi menuju ke arah Halong Bay, semuanya berjalan lancar. Malah penulis sempat mencoba berkomunikasi dengan seorang gadis miskin penjual roti yang duduk di sebelah penulis. Komunikasi pun gagal total, karena penulis ga bisa Bahasa Vietnam sama sekali, dan si gadis penjual roti pun ga bisa Bahasa Inggris sama sekali.

Sialnya bus ini akan menurunkan kita di persimpangan ruas jalan menuju ke dermaga Halong Bay, sehingga mesti naik ojek lagi. Sampai di dermaga sudah senja, dan kapal pun sudah tidak ada yang jalan. Kami pun harus menelan kekecewaan yang pahit. Hari itu juga agak berkabut sehingga ketika kami berfoto, pulau-pulau karst Halong Bay pun tidak tampak jelas dari dermaga.

Lebih sialnya lagi, kami tidak tahu dimana harus naik bus mini yang kebalikan arah menuju Hanoi. Setelah sembarang naik ojek dan nyasar sana-sini, akhirnya kami melihat ada bus mini dengan tulisan Hà Nội. Tanpa buang waktu, kami pun langsung naik. Eh, tidak tahunya kami ditagih 250 ribu dong oleh si kenek karena mengetahui kami bukan orang Vietnam. Penulis pun menolak dan menunjukkan tiket 90 ribu dong yang kami beli ketika kami berangkat dari Hanoi. Terjadi percekcokan dan adu mulut antara penulis dan si kenek brengsek, hampir saja terjadi perkelahian.. akhirnya penulis membayar 100 ribu dong (cuma lebih mahal sedikit dari harga tiket resmi). Satu hal lagi yang bikin tambah gregetan adalah bus mini ini juga mengangkut titipan barang, jadi bus akan keluar rute sedikit buat mengantarkan barang titipan, akhirnya perjalanan jadi tambah lama.

Esok harinya, kami pun berangkat ke bandara Noi Bai yang terletak di agak pinggiran kota Hanoi. Karena sudah mengetahui harga standard taksi kesana, kami pun mencoba limit bawah tarif taksi. Rata-rata supir taksi pada menolak dengan alasan bandara letaknya jauh (emang lumayan jauh sih dari pusat kota). Tapi pada akhirnya ada seorang supir taksi yang mau. Hmm, aneh juga.. Ternyata nih supir taksi kerjasama dengan temannya yang memang taksi bandara. Karena taksi bandara ini memang akan berangkat ke bandara walaupun kosong penumpang, tentu saja dengan adanya penumpang yang nebeng dan bayar, adalah penghasilan tambahan buat si supir taksi bandara. Memang harus penulis akui, orang Vietnam banyak yang lihai dalam mencari penghasilan tambahan (kasus penyelundupan kayu, penitipan barang, taksi bandara).

Akhirnya perjalanan keliling Indochina pun selesai. Sebenarnya penulis juga ingin ke Myanmar, akan tetapi karena keterbatasan waktu, belum bisa tercapai pada saat itu. Perjalanan yang lumayan melelahkan, namun penuh kesan dan pengalaman yang berharga.

66 Responses to Pesona Indochina: Catatan Perjalanan melewati Vietnam, Kamboja, Thailand, Laos

  1. rutenya kayaknya capek bgt deh…lagian harinya mepet banget?
    menarik c…rencana mau kemana lagi?

    • willyyanto says:

      rutenya rute darat, jadi memang memakan waktu lebih panjang.. tapi jauh lebih irit dan juga bisa melihat kehidupan sosial masyarakat.
      untuk saat ini belum ada planning mau kemana lagi. hehehe

  2. mantabb

    baca juga:
    Berita Seputar Dunia Wisata dan Hal-hal Unik di Dunia!
    http://www.ptonews.co.cc

    Thankss

  3. shellahudaya says:

    Aduh seru bgt. Total cost nya brp? Thanksss…

  4. erika novianti says:

    Mau tanya dunk, saya ada planning 7-11 maret ini mau ke ho ci min,,pesawat arrivednya jam 19.40 maunya sih lgsg ke halong bay biar ga ga terlalu buru2 nanti ama jadwal pulangnya, kira2 memungkinkan ga yah, klo iya ada ga bus lgsg dri bandara,atw enaknya gimana yah,,thx

    • willyyanto says:

      Halong Bay itu letaknya di dekat Hanoi (Vietnam bagian utara), bukan Ho Chi Minh (bagian selatan).
      Sedangkan dari Ho Chi Min ke Hanoi jaraknya lebih dari 1000 km, nae pesawat sekitar 2 jam, kalo nae bus/kereta lebih lama lagi (lebih dari 24 jam):

      ini jadwal kereta api (lihat yg rute Saigon (HCM) — Hanoi):
      http://www.seat61.com/Vietnam.htm#Northbound%20timetable

      Dari Hanoi ke Halong Bay sendiri nae bus umum sekitar 3 jam-an.

  5. ichakhairisa says:

    Hai boleh kasih rekomendasi, kalau dari HCMC ke Pnom Penh waktu itu kamu pakai bus apa dan dari mana berangkatnya? Begitu pula dari Pnom Penh ke Siam Reap-nya? Saya cari-cari info di internet agak susah nih yang terpercaya. Makasi ya.

  6. jessica says:

    hai saya mau nanya ni , waktu sampai di phonomphen dari pham ngu lao kamu bermalam di hotel apa ?dari phonomphen ke siem reap naik bus berapa harganya (nama terminal busnya apa ? atau hanya ada 1 terminal busnya ?) kemudian di siem reap bermalam dimana ? brp biayanya ? oh ya berapa biaya untuk sewa tuk” seharian di siem reap buat keliling” ? dari siem reap mau ke bangkok naik mini van darimana dan berapa waktu yg dtmpuh dan berapa biayanya ? ?minta informasinya ya .thankyou

    • willyyanto says:

      untuk hotel search aja di situs2 booking hotel seperti Agoda, dsb.. tinggal pilih yg sesuai budget n selera kita.
      rata2 hotel di Kamboja ga gt mahal koq, 300-400 ribu uda bisa dapat twin bed dengan kamar yg cukup luas dan nyaman

      bus dari Phnom Penh ke Siem Reap yg murah seingatku sekitar 8 USD (Soraya), ada juga yg 11-12 USD tergantung merek bus..
      bisa mesan bus di hotel, tanya aja resepsionis hotel, ntar bus nya datang jemput di hotel.
      ada terminal bus juga sih di kota, bisa nae tuk2 1 atau 2 USD ke sana.

      sewa tuk2 seharian di Siem Reap sekitar 15 USD.
      dari Siem Reap ke Bangkok ada bus malam/ minivan, bisa pesan di hotel juga (biasa mereka cuma ambil komisi 1 atau 2 USD),
      bisa juga pesan di agen2 perjalanan yg ada di Old Market di Siem Reap..

      total perjalanan dari Siem Riep ke Bangkok sekitar 8 – 10 jam-an (termasuk nunggu/ transfer di imigrasi perbatasan),
      jadi kalo brgkt malam dini hari jam 1 mpe Bangkok sekitar jam 10 atau 11 siang
      lupa biayanya berapa.. sekitar belasan USD (tanya aja ke bbrp travel agent sebelum beli bwt ngebandingin harga)

  7. gan, bisa minta ittenary nya ga?
    kalo bisa kirim ke nurrachmanx@gmail.com
    budgetnya habis brapa kmarin?

    • willyyanto says:

      Itenary Vietnam – Cambodia – Thailand – Laos

      Day 1: Brgkt dari Jakarta, tiba di Ho Chi Minh (malam hari)
      Day 2: Keliling Ho Chi Minh seharian dan ke objek2 wisata
      Day 3: Pagi naik bus berangkat ke Phnom Penh (tiket sekitar 10-13 USD) bisa beli di travel agents di daerah Pham Ngu Lao, Ho Chi Minh. Tiba di kota Phnom Penh sore hari (sekitar 6 jam perjalanan)
      Day 4: Sewa tuk-tuk seharian dari pagi mpe sore (15 USD) ke Killing Fields (ada di pinggiran kota), kuil2, Royal Palace, dsb. Sore berangkat ke Siem Reap. Tiba di Siem Reap malam jam 23:00
      Day 5: Sewa tuk-tuk seharian ke kompleks Angkor Wat, Ta Prohm, Bayon dari pagi mpe sore (15-17 USD). Malamnya naik bus/van yg brgkt dini hari menuju ke Bangkok
      Day 6: Tiba di Bangkok (Khao San Road) sekitar jam 10-an pagi. Ke Chinatown, Wat Traimit, dan stasiun kereta api Hua Lam Phong buat beli tiket kereta api menuju Nongkhai.
      Day 7: Ke Royal Palace dan keliling kota Bangkok, malam pukul 20:00 berangkat naik kereta api dari Hua Lam Phong Station (Bangkok) menuju Nongkhai (perbatasan Thai – Laos) (tiket sekitar Rp. 200-300 ribu per orang, ada sleeper bed)
      Day 8: Tiba di perbatasan Laos pagi hari, ada 2 opsi bisa lanjut naik kereta api ke Thanaleng (Laos) atau pake bus via Friendship Bridge. Tiba di Vientiene siang hari.
      Day 9: Pagi hari jam 9-an dari Vientiene berangkat ke Luang Prabang (sekitar belasan USD?? – lupa, coba aja tanya bbrp travel agents sebelum membeli — biasanya harganya hampir sama), perjalanan sekitar 12 jam hingga tiba di Luang Prabang larut malam.
      Day 10: Keliling Luang Prabang, sorenya pukul 18:00 naik bus menuju Hanoi (perjalanan memakan 24 jam lebih), busnya tipe sleeper bus. Ongkos sekitar 350 ribu kip? (lupa), banyak travel agents di Luang Prabang biasanya harga satu sama lain cukup kompetitif (ga beda jauh).
      Day 11: Tiba di Hanoi malam hari sekitar jam 22:00. Hati-hati dengan taksi di Hanoi yg menurut rumor argonya uda disetel jalan kencang. Jadi tawar saja fixed price sampai ke pusat kota – hotel tempat kita nginap.
      Day 12: Seharian ke Halongbay, ada paket tur sekitar 23 USD per org.
      Day 13: Brgkt dari Hanoi ke Singapore. Nginap di Singapore semalam.
      Day 14: Keliling seharian, sore brgkt dari Singapore ke Jakarta.

      Total-total per orang habis ga nyampe Rp. 10 juta (uda termasuk semua biaya transport, nginap di hotel, makan, dsb – uda termasuk juga tiket pesawat Jkt – HCM (ketika berangkat) dan Hanoi – Singapore, Sing – Jkt ketika pulang)

  8. hartoko says:

    mas cost sekitar 10 jt/orang,,itu dah hotel bintang 3,,makan lumayan,,jd kalo saya mau versi ekstrim bisa dipangkas jd 1/2 mungkin ya,,hhmm rencana awal mau ke vietnam ja,,,kebetulan ada temen disana,,mungkin mau ubah rute kaya mas ja lah,,,sekalian mumpung ada waktu,,,,siippp deh,,,,,referensi yang bagus…

  9. nice share gan! gw terinspirasi, 🙂
    kalo gw rencananya dari singapore – johor baru – KL – Krabi – Phiphi Island – Krabi – Bangkok – ….
    nah gw niatnya dari Bangkok itu ke Ho Chi Min City, rute yang terbaik gimana ya gan, biar Kamboja dan Laos bisa gw singgahi jg, thanks… pesawat balik gw rencananya dari Bangkok.

    • willyyanto says:

      Tergantung punya waktu cukup apa ga.. Klo banyak waktu bisa dari Bangkok ke Laos lalu utara Vietnam telusuri sampe selatan, kemudian ke Kamboja lalu balik ke Bangkok.
      Kalo wktu nya mepet mgkn dari Bangkok cukup ke Kamboja dan Vietnam selatan saja.

  10. Micky says:

    Gan , mau minta info ni . g rencana Dari Bangkok ke Vietnam , kan Dari nongkhai naik bus . Nah naik busnya di depan stasiun ? Atau harus ke terminal ? Kalau terminal , cara ke termnalnya Gimana Dan Nama terminalnya ?

    Sehabis itu Kalau Dari Vietnam Mau ke phonomphpenh naik bus , nah jam operational bus sampai jam berapa ya ?

    Thanks ya.

    • willyyanto says:

      Ini mau ke Vietnam atau Laos? Nongkhai itu kota perbatasan di Thailand dekat Laos.
      Kata orang sih dari terminal bis Nongkhai, ada bus yg menuju ke Vientiene.. dari stasiun kereta api ke terminal bus bisa nae tuktuk.

      Kalo dari Vietnam (Ho Chi Minh) mau ke Phnom Penh, bisa beli tiket di Pham Ngu Lao (HCM City), bus ada yg dari pagi mpe sore..
      ga begitu ingat bus terakhir mpe jam brp.. tapi mpe jam 4-an sore kayanya masih ada.

  11. waluyos says:

    Gan, tanya dong, kalo disuruh milih mending pilih mana liburan di Thailand atau di Vietnam? Butuh rekomendasi banget nih terutama bagi yang sudah pernah backpack ke sana, termasuk agan. Thank ganz.

    • willyyanto says:

      tergantung selera pribadi sih.. thailand dan vietnam punya budaya masing2 yg cukup beda.
      dari segi biaya/ harga2 juga relatif ga jauh beda.
      pergi ke kedua2nya saja 🙂

  12. yulia paranoan says:

    masbro..minta pencerahan dong. Udah beli tiket bali – bangkok. Untuk next tripnya lebih baik pilih rute

    1. Bangkok – vientiane – luang prabang – hanoi – ho chi min – siem reap – phnom penh – singapore – jakarta

    2. Bangkok – phnom penh – siem reap – vientiane – luang prabang – hanoi – ho chi min – singapore – jakarta

    • willyyanto says:

      Saya kira rute 2 agak susah dan berat karena jalur transport dari Kamboja ke Laos sangat terbatas (Siem Reap – Vientiene)

      Jadi rute 1 lebih masuk akal, dengan catatan kayanya dari Ho Chi Minh ke Phnom Penh dulu sebelum Siem Reap, jadinya seperti ini:

      3. Bangkok – vientiane – luang prabang – hanoi – ho chi min – phnom penh – siem reap – singapore – jakarta.

      Cuma yg jadi pertanyaan adalah apakah ada pesawat dari Siem Reap langsung ke Singapore. Setahu saya AirAsia ada rute Siem Reap ke Kuala Lumpur, mgkn Yulia bisa mengecek nya terlebih dulu perihal jalur pesawat buat pulang ini.

  13. marcel says:

    nice share gan,,,,ane mau nanya nih,,,,,,kalo dari Luang prabang ke chiang mai adakah slow boat?krn yang ane serching di google semua nya dr chiang mai ke Luang prabang,,,,,thanks atas jawaban nya,,,,,

  14. Santy says:

    thx banget buat sharenya, keren, btw saya mau tanya kalo sewa mini van untuk jurusan Siam Reap – Bangkok dimana ya ? harganya berapa per orang ? masalahnya saya bulan juni 2013 nanti mau ke Siam Reap trus lanjut ke Bangkok via darat, berapa jam perjalanan? saya mau pergi sama rombongan sekitar 10 orang, mohon infonya bro, thx sebelumnya, saya tunggu jawabannya

    • willyyanto says:

      kalau per org dari Siem Reap ke Bangkok kena belasan USD, kalau berangkatnya rombongan 10 orang emang lebih murah kalo sewa van.
      coba searching aja car / van rental siem reap di google, biasanya travel agent suka ada nawarin jasa sewa mobil gitu.

  15. prili says:

    wahhh keren gan trip nya.. btw mau tanya, apa semua negara itu lewat darat bebas visa gan ?

  16. prili says:

    seru yaaa tripnya… mau tanya dong mas, emang lewat jalur darat , semua ga kena visa ? ato ada yg visa on arrival?

    • willyyanto says:

      semuanya bebas visa, termasuk juga Laos dan Kamboja.
      saat ini yg belum bebas visa cuma Myanmar.

  17. Hari Ini says:

    Pengalaman yang seru tentunya bisa ke daerah IndoCina ini, daerah2 yang memiliki potensi wisata luar biasa tapi belum banyak yang tau.

  18. I read this article fully regarding the difference of most
    recent and preceding technologies, it’s amazing article.

  19. Factor of success is T = Talent, A = Attitude, S = Skills, K = Knowledge. Congratulations successful…keep spirit..keep sharing..thaks you..,

  20. Hendra sutisna says:

    Waaahhh seru, mo nanya lebih banyak bisa via tlp gak? Email no tlp nya yah via handthera@yahoo.com makasih banyak gan

    • willyyanto says:

      terima kasih atas pesannya..
      lewat email saja, saya sedang tidak berada di Indonesia.
      biaya telepon akan memberatkan anda.

  21. riki s says:

    seruu tripnya… boleh tanya kn.?
    rencananya saya awal agustus ini mau ngebackpack pnom penh-hcmc-hanoi-vientien.. tp masi bingung dengan schedule bus dari hanoi-vientien(laos). mohon info n pencerahannya.?

    • willyyanto says:

      Hanoi – Vientiene itu perjalanan lebih dari 24 jam, bisa nae sleeper bus.
      Coba searching/tanya aja travel agents di kota Hanoi.

  22. Nice post. I used to be checking continuously this weblog and
    I am inspired! Very useful information particularly the closing part 🙂 I maintain such information a lot.
    I used to be looking for this particular info for a long time.
    Thank you and best of luck.

  23. kenny says:

    bro will mau nanya donk kl dr thailand kekamboja n vietnam selatan butuh waktu berapa lama thx

    • willyyanto says:

      hai kenny, maap baru balas.
      tergantung mau berhenti/ singgah berapa lama di tiap tempat.. sekitar semingguan cukup sih

      dari Bangkok ke Siem Reap sekitar 9-10 jam
      Siem Reap ke PhnoM Penh 7-8 jam
      dari Phnom Penh ke Ho Chi Minh (Vietnam Selatan) 6-7 jam

  24. Hi my friend! I want to say that this article is amazing, nice
    written and come with almost all important infos.
    I’d like to see extra posts like this .

  25. kie says:

    seru bacanya ^^ oya saya tertarik buat backpaking-an dari kamboja Phom pen ke vietnam tp ke hanoi .. dari googling2 tyt jauh banget yah?butuh 2-3 harian?harus ke ho chi min dulu yah kalau dr PP ? – smuga diksh penerangan ^^

    • willyyanto says:

      thanks sudah baca ^^
      dari Phnom Penh biasanya banyak bis yang ke Ho Chi Minh, sekitar 6-7 jam gt.
      dari Ho Chi Minh ke Hanoi cukup jauh, sy sarankan singgah aja di kota2 di antaranya… macam Hue, dsb.

      kalo mau cepat bisa nae pesawat dari HCM langsung ke Hanoi

  26. Gugum says:

    Mas willy, numpang tanya…untuk nyiasatin sampe di bangkok pagi dari siem riep gmn yah? Udah gugling tp masih blm nemu juga. Sebenernya ada ga sih bus yg ke Bangkok dari siem riep siang ato malam hari dengan harapan sampe di Bangkok jam 7-8 an pagi?

    • willyyanto says:

      biasanya dari Siem Reap berangkat tengah malam, sampai di Bangkok jam 10 atau jam 11 pagi.

      sepertinya aga susah yg tiba pagi jam 7-8 pagi sebab imigrasi Kamboja saja biasa buka sekitar jam 7 atau 8 pagi.

  27. Meivy says:

    Halo.. Mau tanya mas itu dr siem reap ada yah van yg brgkt dini hari ke bangkok? Krn saya udah browsing2 rata2 cm brgkt pagi. Bs booking di hotel kah? Thanks

  28. I’m impressed, I have to admit. Rarely do I come across a blog that’s equally educative and amusing,
    and let me tell you, you’ve hit the nail on the head.

    The issue is an issue that not enough people are speaking intelligently about.
    I’m very happy that I stumbled across this during my hunt for
    something concerning this.

  29. winnymarch says:

    klo tahiland-kamboja-vietnam-tahiland lg hanya 3 hari mungkin gk?

    • willyyanto says:

      bisa saja sih dalam 3 hari tapi cuma berhenti bentar di tiap tempat..
      soalnya seperti Angkor Wat saja butuh seharian tuh.

  30. gan sorry mau tanya dong 😀 akhir mei ini mau jalan dengan rute :

    jakarta – Vietnam- kamboja-bangkok-phuket
    dan saya butuh pencerahan buat transportasi untuk kamboja – bangkok lewat jalur darat enaknya naeik apa yaa?

    bus malemnya ada gak yaa?

    maklum mau irit budget :d

    thank’s sebelumnya

    • willyyanto says:

      dari Kamboja ke Bangkok bisa nae bus.
      ada bnyak agen tur di Phnom Penh yg menawarkan jasa Phnom Penh – Bangkok.

      atau kalau ada waktu cukup, dari Phnom Penh bisa ke Siem Reap dulu.
      dari Siem Reap suka ada bus/ van yg berangkat malam dini hari, nyampe di Bangkok sekitar jam 11 siang

  31. Rain Liempepas says:

    Mau nanya kalau saya dari Kuala lumpur ke Phnom penh naik pesawat, lalu ke siam reap naik bus, lalu balik ke Ho chi minh naik bus dari siam reap ada gak yah? Berapa jam prjalanan? Dari Ho chi minh mau ke Hanoi naik pesawat, lalu sisanya lewat darat (bus/kereta yah?) ke laos lanjut ke Chiang mai, baru ke bangkok. Rutenya udah bagus gak yah? Makasih sebelumnya..

    • willyyanto says:

      bus dari siem reap – ho chi minh ada koq, tapi rutenya bolak balik gitu..
      mending dari ho chi minh ke phnom penh lalu siem reap lalu bangkok

      dari bangkok bs ke Chiangmai lalu ke Laos, tapi rutenya aga tough (mesti lewat jalur sungai kayanya).
      Laos (Luang Prabang) ke Hanoi via darat, ada sleeper bus sekitar 28 jam perjalanan

  32. enabsalam says:

    kerenn.. saya ijin follow ya mas, semoga bisa bermamfaat, sy juga hobby jalan2, tp blm biasa nulis

  33. pricilyave says:

    Mau nanya dong, dr laung prabang ke hanoi naik bisa nama nya ap? Beli tiketnya dmn yah? Thank you 🙂

    • willyyanto says:

      Luang Prabhang itu kota kecil, di sepanjang salah satu jalan utama yg ada kantor posnya juga banyak sekali travel agents yg jual tiket bus Luang Prabang – Hanoi (lupa nama busnya), termasuk jasa jemput oleh tuk-tuk dibawa hingga ke terminal bus dari hotel.
      Tanya saja bbrp travel agents, harga biasa ga beda jauh.. bisa juga pesan di hotel, biasa mereka ambil komisi satu atau dua dolar.

  34. Jansen Gamaliel says:

    Ko, brp jam yaa jarak dari bangkok ke ho chi minh city?

    • willyyanto says:

      bangkok ke ho chi minh city paling tidak perlu sekitaran 20 jam-an gt…
      saran sih berhenti aja di angkor watt or phnom penh buat main jadi ga gt capek di jalan non-stop

  35. ekoandriyan says:

    yg nyulam yg pake kaus kuning lambang apel kegigit?
    kok ente ga bilang
    “sini nyulam hati ku saja”
    weka weka
    ntar sbg gantinya
    saya tambalin itu sebagian apel yg udah kegigit.
    mhuehehehe

  36. Disitu says:

    kalo thailand masih mantap untuk berkunjung, tapi kalo vietnam makanannya belum tau tuch enak apa kagak, pas liat di asian food channel sepertinya makanan vietnam kurang enak

Leave a reply to willyyanto Cancel reply