Perjalanan Seribu Li Menyelusuri Negeri Tiongkok

(Oleh: Willy Yanto Wijaya)

Pertengahan hingga akhir Juli yang lalu, penulis bersama beberapa anggota keluarga berkesempatan menyelusuri negeri Tiongkok, terutama wilayah timur, dengan rute persinggahan sebagai berikut : Beijing – Fuzhou – Putian – Wuyishan – Huangshan – Hangzhou – Shanghai – Beijing. Perjalanan yang cukup melelahkan, menggunakan berbagai moda transportasi, mulai dari pesawat, bullet train, kereta api kelas ekonomi, kereta api hard sleeper, coach, bus kota, bus kampung, bahkan rakit bambu (menyusuri sungai di Wuyishan), yang bila dihitung total jarak tempuh sudah lebih dari 3000 km. Jadi judul perjalanan seribu li di atas tidaklah mengada-ada   =D (satu li saat ini dipatok oleh pemerintah RRC setara 0.5 km, sedangkan standard sejak dinasti Han adalah sekitar 415 m).

Dalam tulisan kali ini, penulis tidak akan banyak mengulas tentang bagaimana gagahnya Tembok Raksasa yang bagaikan naga meliuk-liuk mengikuti kontur gunung dan membentang hingga panjangnya lebih dari enam kali panjang Pulau Jawa, ataupun tentang Istana Kaisar yang menyimpan sejarah panjang Negeri Tiongkok, juga tentang eloknya pedesaan di Provinsi Anhui hingga jejeran pegunungan di Huangshan yang banyak tertutupi oleh hutan bambu, maupun bagaimana kisah menyusuri sungai meander yang berkelok-kelok di lembah pegunungan Wuyishan di Provinsi Fujian, juga tentang indahnya Danau Xihu di Hangzhou tempat terjadinya Legenda Ular Putih, ataupun atmosfir kosmopolitan yang dinamis di kawasan The Bund kota Shanghai sambil menyusuri Sungai Huangpu. Cerita-cerita seperti ini dapat Anda baca dan sudah banyak diulas di majalah-majalah travelling.  =D

Dalam tulisan kali ini, penulis akan lebih fokus membahas aspek sosial humaniora dan impresi secara umum (pengalaman menarik/ opini pribadi) selama perjalanan ini.

Secara umum, ada dua hal yang sangat ‘berkesan’ (membekas) dari perjalanan kali ini yaitu aspek kejorokan dan percaloan. Apabila Anda ikut tour, mungkin Anda tidak akan merasakan kedua aspek ini karena Anda hanya dibawa ke tempat-tempat yang bersih dan indah, dan semua itinery perjalanan juga sudah diatur oleh jasa tour (jadi tidak akan berurusan dengan jasa percaloan).

Harus penulis akui bahwa gaya hidup orang-orang di RRC cukup jorok (mungkin karena penulis sudah tinggal di Jepang selama beberapa tahun jadi menggunakan standard Jepang sebagai perbandingan). Aroma toilet hampir di semua stasiun dan terminal sangatlah menusuk (kecuali di bandara ataupun stasiun bullet train yang relatif bersih). Tapi sebenarnya toilet di Indonesia juga sama parahnya. Satu hal yang parah di RRC adalah seringkali setelah orang-orang buang air besar (BAB), tidak disiram!! Bukan saja di terminal bus atau stasiun kereta lokal, yang mengejutkan bahkan di sebuah restoran yang cukup bagus di kawasan shopping streets Wangfujing – Beijing, ketika penulis mau masuk, terhenyak melihat (maaf) tinja yang panjangnya lebih dari 20 cm. Damn! Di terminal bus apalagi.. tidak usah diceritakan lagi, ceceran tinja di toilet mungkin sudah menjadi pemandangan yang lazim. Aspek kejorokan ini bukan hanya dalam domain (dunia) pertoiletan saja, ketika makan, sisa-sisa tulang dan makanan pun seringkali terlihat berserakan di meja makan (mungkin sudah biasa buat mereka); dan juga di dalam kereta api kelas ekonomi, orang-orang sembarangan membuang sisa makanan seperti kulit kacang atau kuaci (mungkin sama saja kaya di Indonesia, he..he). Yang bikin penulis makin heran adalah bahkan daerah wisata seperti Great Wall, kereta gantung yang dinaiki bejibun banyaknya penumpang (ribuan orang per hari) sudah terlihat kusam dan tua, bahkan pintunya ada yang sudah ga bisa nutup rapat (kenapa ga diperbaharui?), padahal biaya naik kereta gantung tersebut cukup mahal (seharga 60 yuan sekali jalan – hampir Rp.100 ribu per penumpang, plus 45 yuan lagi buat tiket masuk Great Wall).

Aspek kedua yang cukup menarik adalah percaloan. Walaupun sudah membaca Wikitravel mesti naik bus 919 dari Beijing menuju Great Wall, tetap saja susah sekali mencari bus resmi tersebut. Di sepanjang ruas jalan menuju terminal bus, banyak sekali calo-calo yang bahkan memasang plakat palsu bahwasanya mereka adalah bus resmi 919. Plakat palsu dalam bentuk papan penunjuk jalan diplesterin, plakat palsu dipaku di pohon, dsb.. ada saja ulah calo-calo ini. Tapi yang herannya kenapa petugas polisi di sekitar terminal tersebut tidak bertindak? Pastilah sudah kongkalikong dengan para calo tersebut. Ternyata selain bus 919, bus 880 (resmi) juga bisa menuju Great Wall, harga tiket resmi antara 12 sampai 16 yuan sekali jalan. Ternyata lagi-lagi setelah tiba di Great Wall dan mau naik kereta gantung, loket resmi tiket tidak mau menjual tiketnya (mereka hanya mau menjual kepada agen-agen tiket alias calo terdaftar). Mungkin loket resmi harus menjual sesuai harga yang ditetapkan pemerintah, jadi untuk mendapatkan untung pribadi, si petugas tersebut menjual kepada calo resmi yang akan menjual dengan harga resmi + untung sedikit, dan keuntungan ini ntar bisa dibagi dengan petugas loket resmi tersebut. Ini namanya korupsi terselubung, bung!

Di tengah carut marutnya sistem di RRC, tetap ada aspek positif yang bisa dimanfaatkan.. misalkan dengan memberikan sedikit ekstra duit, sopir taksi kadang bersedia mengangkut 5 orang penumpang (kasus di Hangzhou dan Wuyishan). Lucunya kami disuruh bersembunyi (main kucing-kucingan) ketika taksi tersebut melewati persimpangan jalan yang ada petugas polisinya.

Walaupun prinsip “semua bisa diatur kalau ada duit” sepertinya cukup berlaku di RRC (seperti halnya di Indonesia juga), juga sistem percaloan yang sangat parah.. akan tetapi masih ada juga sosok-sosok yang berintegritas. Ada dua kejadian yang penulis alami.

Peristiwa pertama terjadi ketika kami baru saja tiba di Bandara Internasional Beijing larut malam. Hotel Ibis dekat bandara yang penulis booking ternyata cukup jauh dari bandara sehingga tidak mungkin dicapai dengan jalan kaki. Free shuttle bus dari hotel juga cuma beroperasi sampai jam 12 malam. Taksi-taksi resmi bandara juga pada ogah menerima kami karena kalau pakai argo mereka cuma dapat sekitar 15-20 yuan sekali jalan (karena jarak hotel yang cuma sekitar 5 menitan pakai taksi). Taksi ataupun van gelap mau, tapi memeras habis-habisan dengan tarif 200-300 yuan buat 5 orang. Sebuah van gelap yang akhirnya mau dengan tarif 150 yuan/ 5 orang pun masih harus nunggu hingga van nya terisi penuh. Kami pun terombang-ambing dalam ketidakpastian dan kebingungan padahal malam semakin larut (sudah lebih dari jam 2 malam). Penulis yang bawa seminim mungkin ransel sih ga masalah kalau harus jalan hingga ke hotel, tapi koper-koper bawaan anggota keluarga lainnya membuat sangat sulit untuk bisa jalan kaki hingga ke hotel. Dengan keterbatasan bahasa Mandarin, kami pun kesulitan melakukan nego dengan para supir taksi yang mangkal. Akhirnya ada satu petugas bandara yang mencoba membantu kami. Awalnya kami maunya berlima dalam satu taksi (supaya tidak terpisah), tapi petugas itu bilang tidak bisa.. dan ketika kami tanyakan berapa tarifnya kalau naik dua taksi, kami tidak bisa menangkap penjelasannya.. sepertinya dia bilang dia tidak tahu.. kami pun tetap was-was dan belum mau naik.. ternyata setelah ngomong berulang-ulang dan alot, akhirnya kami menangkap maksudnya tarif tergantung argo (bodohnya kami  -_-“). Tapi para supir taksi pada tetap ga mau pakai argo walaupun sudah diminta oleh petugas bandara tersebut. Akhirnya dengan nada tinggi, petugas tersebut memarahi para supir taksi (tidak jelas apa yang dia omongin, mungkin dia bilang kalian supir taksi bersikap seperti ini bikin malu negara RRC saja  ;p). Akhirnya dengan berat hati, supir taksi bersedia mengangkut kami, dengan tarif argo normal !! (padahal sudah larut malam gini). Kami pun memberikan ekstra 10 yuan buat supir taksi. Syukurlah ada petugas yang berbaik hati dan masih mau peduli membantu wisatawan asing yang kesulitan seperti kami..

Kejadian kedua terjadi di sekitaran stasiun kereta api Wuyishan, ketika kami sedang duduk-duduk di jejeran bangku di emperan kios-kios. Seorang kakek tua menyodorkan gelas plastik (mirip cup aqua) dan meminta-minta. Kami pun memberikan sedekah buat kakek tersebut. Setelah pergi, kemudian kakek tersebut datang lagi dan meminta-minta lagi. Setelah mendapatkan sedekah, kakek tersebut pergi dan kemudian datang lagi! Wah wah nih kakek sudah pikun atau gimana.. bukan cuma ke kami, kakek tersebut juga menghampiri orang-orang lain yang tadi juga sudah memberikan sedekah ke kakek tersebut.. “Tadi kan sudah kasih,” terdengar ujaran dari orang lain yang duduk di sebelah kami dalam bahasa Mandarin. Asap rokok pun terus-terusan mengepul dari rokok yang dihisap oleh si kakek.. yang akhirnya melenggang pergi. Memang kalau dipikir-pikir dalam usia setua ini, masih harus meminta-minta, tentulah perasaan iba dan simpati akan muncul. Namun cukup ironis, uang yang diberikan juga dihabiskan untuk rokok dan merusak kesehatan diri sendiri si kakek. Tidak lama berselang, datanglah seorang ibu tua pengumpul botol plastik bekas. Kami pun ingin memberikan sedekah untuk ibu tua tersebut. Ternyata dengan sopan ibu tersebut menolak pemberian kami, dan mengatakan ia cuma mengumpulkan botol plastik bekas. Walaupun kami bersikukuh ingin memberinya sedikit uang, ia tetap menolak dengan sopan. Luar biasa prinsip yang dimiliki oleh ibu tua ini. Kami pun meminum habis air, dan memberikan botol kosong ke ibu tersebut yang diterimanya dengan senang hati. Ternyata di balik kesusahan dan kemiskinan, adalah mungkin untuk tidak kehilangan prinsip hidup, yang sudah dibuktikan oleh ibu tua ini..

Beberapa hal positif lainnya yang penulis amati adalah di luar dugaan penulis, bahkan kota-kota metropolitan seperti Beijing dan Shanghai relatif cukup aman (jauh lebih baik dibandingkan Jakarta). Awalnya ada rasa was-was ketika ingin mengeluarkan kamera atau smart-phone, tapi ternyata di MRT (subway) terlihat banyak anak muda yang bermain dengan gadget dan smart-phone! Mungkin pertumbuhan ekonomi telah membawakan kemakmuran bagi sebagian penduduk RRC terutama di wilayah urban. Kekhawatiran penulis untuk mengeluarkan gadget pun akhirnya sirna (tentunya tetap harus menjaga kewaspadaan, he..he). Hal-hal keren lainnya yang penulis lihat antara lain fasilitas di Beijing International Airport. Wi-fi gratis di bandara tentunya sudah merupakan fasilitas yang cukup lazim, tapi di Beijing Airport bahkan ada telepon umum gratis !! (gratis untuk telepon kemana saja dalam wilayah Beijing).

Beberapa observasi trivial lainnya dari penulis antara lain: secara umum makanan di China banyak yang asin dan terlalu berminyak. Rata-rata orang di China ngomong suaranya keras dan seperti membentak-bentak (mungkin sudah kebiasaan dari sono – jadi jangan kaget). Orang-orang di Beijing kebanyakan cuek, apatis, dan kasar (tentunya ga semuanya seperti ini, ada juga yang baik hati mau membantu) dibandingkan daerah-daerah lain di RRC, bahkan orang-orang Shanghai secara umum lebih open-minded (dari pengalaman pribadi penulis). Di banyak tempat terpasang kamera pengawas, bahkan di bus kampung yang penulis naik dari Fuzhou menuju Putian saja ada kamera pengawas.. walaupun kontrol dari pemerintah cukup ketat, tetap saja di RRC banyak yang tidak pakai aturan (misal sembarang menyeberang jalan, menyetir kendaraan, dsb), ga kebayang kalau RRC bukan negara komunis.. pasti makin kacau dan ga beraturan   =D. Maskapai penerbangan domestik di RRC masih tergolong cukup mahal, pesawat Xiamen Airlines dari Beijing ke Fuzhou yang cuma sekitar 3 jam-an saja, tiket one-way sudah sekitar Rp. 2 jutaan dan banyak kursi yang kosong (rata-rata orang China bepergian pakai kereta api atau bus, jadi pesawat masih dianggap untuk kalangan berduit – budget-arline belum eksis di RRC).

Demikianlah beberapa pengamatan dan kesan-kesan penulis selama bepergian di negeri Tiongkok. Ada beberapa pengalaman menarik lagi di Fuzhou yang akan penulis ceritakan di sekuel tulisan berikutnya. Juga kisah tentang Putian, kampung halaman kakek buyut-buyut (great-great grandfather) penulis dari pihak ayah.

Suhu udara bulan Juli yang sangat panas lembab dan gerah di China, memang sebenarnya kurang nyaman untuk bepergian. Di beberapa tempat seperti Hangzhou, Nanjing dan sekitarnya suhu udara bahkan mencapai 40°C dengan kelembaban yang sangat tinggi. Tubuh pun tidak henti-hentinya bercucuran keringat. Polusi udara kota Beijing yang cukup parah, dehidrasi, dan kurang minum selama perjalanan, akhirnya membuat penulis radang tenggorokan, flu dan batuk. Hari terakhir sebelum berangkat balik ke Jepang, penulis juga menginap semalaman (tidur ayam) di kursi di Bandara Beijing. Esok paginya, entah kenapa dan gimana caranya, penulis dikasih kursi kelas bisnis Delta Airlines yang bisa buat tidur!! (wow, ini kedua kalinya penulis tidak sengaja mendapatkan kursi kelas bisnis padahal bayarnya kelas ekonomi, he..he).

 

……bersambung ke sekuel cerita selanjutnya

 

 

9 Responses to Perjalanan Seribu Li Menyelusuri Negeri Tiongkok

  1. selfy parkit says:

    Nice experience 🙂 can’t wait to read the next story from u 🙂
    Btw udara di China lumayan panas juga ya klo musim panas. Lebih panas dari jepang kah?

  2. […] ini adalah sekuel dari tulisan sebelumnya “Perjalanan Seribu Li Menyelusuri Negeri Tiongkok”. Kalau hanya sekedar travelling menyelusuri negeri Tiongkok, tentulah tidak sulit. Akan tetapi, […]

  3. Bahtiar NDT says:

    boleh minta alamat emailnya ?
    besok saya ke xiamen

    rgd,
    bahtiar@gmail.com

  4. Boleh tau, sebelumnya Anda sudah pernah ke tempat2 seperti yang sebutkan di Post “Perjalanan Seribu Li Menyelusuri Negeri Tiongkok”? (maksudnya ini kunjungan pertama atau ke berapa?) Terus perjalanan Anda dipandu guide atau gak? btw Nice post Salam kenal 🙂

  5. sow cing says:

    Thumb on 🙂

Leave a reply to willyyanto Cancel reply